XXXI.

396 84 23
                                    

"Aku sedang melihatmu duduk bersama seorang pria."

Mujin berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Dalam hatinya, ia sudah ingin keluar dari mobil dan menghancurkan apa yang ada di depan matanya, termasuk Jiho. Ia mengencangkan kepalan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Mujin terus berusaha mengatur nafasnya agar ia tidak bereaksi di depan Jiho. Ini bagian dari strateginya.

Taeju memperhatikan gerak gerik bosnya itu dari spion, siap untuk melepas sabuk pengamannya jika terjadi sesuatu.

"Oh, andwae. Andwae. Itu tidak seperti yang kamu bayangkan."

Dari dalam mobilnya, Mujin bisa melihat Jiho terburu-buru keluar dari tempat itu dan meninggalkan pria itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Segera masuk ke mobil dan pulang."

Mujin menutup teleponnnya dan memejamkan matanya. Mengerikan apa yang terjadi di dalam kepalanya. Senyawa-senyawa yang membesar, otot yang menegang dan pembuluh darah yang melebar dan darah yang berdesir dengan sangat cepat.

Jiho masuk ke dalam mobil seperti orang kesetanan. Ia sudah tahu dirinya dalam masalah. Ia menundukkan kepalanya dan hanya sesekali melirik wajah Mujin. Padahal Jiho sangat ingin memeluknya tapi ia sudah memberikan pemandangan yang buruk di awal pertemuannya hari ini.

Bau asap tercium, Mujin menyalakan sebatang rokoknya. Ia terlihat lebih tenang dibandingkan bayangan Jiho.

"Did you have a good time?" tanya Mujin datar.

"Dengan Jeong Hyuk? Tidak."

"Jeong Hyuk. Pria itu tadi?"

Lee Jeong Hyuk, batin Mujin.

Setiap kali berurusan dengan lawan jenis yang mendekati Jiho, Mujin harus berpura-pura tidak tahu.

"Kenapa tidak? Dia temanmu," sindir Mujin.

"Dia hanya rekan kerjaku."

Mujin mendengus sambil menghembuskan asap rokoknya yang panjang.

"Taeju-ya, lebih cepat," perintah Mujin.

Mereka tiba di penthouse lebih cepat dari biasanya. Jiho tidak berani memulai pembicaraan dengan Mujin. Tapi silent treatment yang diberikan Mujin bisa membuatnya gila. Bagaimana ia bisa tenang saat ia tahu Mujin tidak biasa-biasa saja? Mujin jelas menunjukkan ketidaksukaannya. Jiho ingin bertanya walaupun singkat.

"Mujin..."

Jiho membuka pintu ruang kerja Mujin, tempat dimana Mujin langsung menutup dirinya sesampainya ia di penthouse tadi.

Mujin menaruh kertas yang sedang dipegangnya, dan menatap Jiho dengan tajam. Jiho ingin mengurungkan niatnya, tapi sepertinya jika ia diam saja, Mujin bisa tambah marah. Ia tidak tahu, tidak yakin. Ia hanya sangat kebingungan saat ini. Bisa saja Mujin menginginkan waktu sendiri, tapi balik lagi, Jiho sangat merindukan Mujin dan tidak ingin bertengkar saat ini.

"Apa kamu akan diam saja disana?" tanya Mujin tanpa ekspresi.

Jiho masuk dan menutup pintunya kembali. Ia berdiri di depan meja kerja Mujin, dan Mujin hanya terus menatapnya tanpa kata-kata.

"Kemari," suruh Mujin.

Gadis itu, seperti biasa, selalu menuruti perkataan Mujin. Ia berdiri di sebelah kursi Mujin, belum berhenti merutuki dirinya sendiri sedari tadi. Mujin memegang tangannya dengan kasar dan menempatkannya persis di hadapannya, dan ikut berdiri. Tubuh tegapnya menjulang di hadapan Jiho. Jiho kembali merasa sangat kecil di depan Mujin. Kemarahan Mujin bisa terasa bahkan saat pria itu tidak mengatakan sepatah katapun.

Strangled [Choi Mujin] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang