Helaan napas berat terdengar kala tangan dibalik selimut itu bergerak menyibak asal selimut yang menutupi tubuhnya. Tangannya bergerak menyalakan lampu tidur, sedikit menambah pencahayaan di kamarnya. Kemudian bergerak pelan menuruni tempat tidur sambil melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 1 dini hari. Harsa, tersenyum sumir sebelum langkah gontai membawanya menuju pintu balkon kamar.
Hembusan angin yang terasa menusuk seketika menyapa kulitnya kala pintu balkon itu terbuka. Dingin yang Harsa rasakan tak membuat langkahnya berhenti untuk melewati batas antara kamar dan balkon. Sementara tangannya terus mengusap kedua lengannya, Harsa perlahan mendaratkan bokongnya di lantai. Dingin, lagi-lagi ia rasakan.
Alasan kenapa Harsa berakhir uji nyali di balkon kamarnya detik ini adalah karena Harsa tidak bisa tidur. Meskipun ia sudah berusaha untuk memejamkan matanya, namun Harsa tetap saja tidak bisa menjelajahi dunia mimpinya di malam hari. Kepalanya terlalu berisik sampai-sampai Harsa pun menyerah untuk memejamkan matanya.
Pandangannya kemudian ia arahkan ke jalanan di sekitar komplek yang remang-remang dan tampak sunyi, seketika membuatnya merinding. Lantas ia mengalihkan pandangannya pada langit yang tampak gelap gulita. Terlihat sepi tanpa bintang. Harsa terkekeh, bahkan langit pun terlihat kesepian saat ini. Hingga setelahnya helaan napas kembali terdengar sebelum Harsa menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya yang ditekuk, mencoba memejamkan kembali kedua matanya yang lelah. Siapa tahu angin malam bisa membantunya tertidur lelap dan rintik hujan yang mulai terdengar dapat meredam suara di kepalanya.
Akan tetapi, alih-alih tertidur lelap, sesuatu yang tak Harsa harapkan malah terjadi begitu saja. Air matanya luruh kala matanya terpejam. Tak henti-hentinya berjatuhan seiring dengan intensitas hujan yang semakin bertambah deras. Hingga detik berikutnya, isak tangis yang tertahan itu perlahan terdengar.
Entahlah, Harsa tak tahu kenapa tiba-tiba air matanya keluar. Harsa juga tak tahu apa penyebabnya. Jika air mata ini berasal dari kesedihannya yang tak berkesudahan, maka Harsa mohon dengan sangat kepada dirinya untuk berhenti menangis. Sungguh, Harsa hanya ingin tidur, bukan menangis.
"Hhhh ... hiks ... hiks ...."
"Lo nggak boleh nangis, Saaaa...." pekiknya yang tertahan sembari meremas dadanya yang terasa sesak. Berulangkali Harsa kembali menjerit, menyuruh tangisnya agar segera usai. Mencoba mengingatkan kembali pada dirinya bahwa ia sudah membuat kesepakatan dengan dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi.
Cukup, sore itu yang menjadi episode terakhir dari kesedihannya. Lagipula Harsa juga sudah mencoba melupakan kata-kata ayah. Karena untuk kedepannya, Harsa akan mulai membiasakan dirinya lagi, mengikuti alur cerita hidupnya dan berjanji untuk tidak menaruh harapan sekecil apapun itu.
Sungguh, Harsa hanya ingin tidur. Itu saja.
Lagipula, apa gunanya menangis? Toh, tak akan ada yang datang memberikan pelukan hangat untuknya. Tak ada yang akan menuturkan kata-kata penenang untuknya. Kisah hidupnya juga akan terus berlanjut seperti biasa, kecuali kalau Harsa memilih untuk mengakhirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
FanfictionTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"