"Setelah ini, kamu udah bisa masuk kuliah lagi seperti biasa. Lakukan yang terbaik untuk mengejar ketertinggalanmu selama ini, Mavin. Jangan main-main, kamu udah semester akhir sekarang. Kamu mengerti 'kan?"
Mavin mengangguk pelan bersamaan dengan tatapannya yang jatuh pada kedua kakinya yang tak lagi mengenakan gips. Ada perasaan bebas saat benda itu lepas dari kakinya, seakan ia siap untuk melangkah bebas kemanapun ia ingin pergi setelah sebelumnya benda itu menjadi alasan terkuat untuk mengurungnya selama beberapa minggu terakhir. Hingga detik berikutnya, Mavin mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. "Aku mengerti," gumamnya pasrah.
"Jangan seperti kemarin-kemarin lagi. Sampai sekarang pun kamu nggak mau bilang ke ayah kemana aja kamu pergi sampai-sampai nggak pulang ke rumah. Kamu punya rumah Mavin, kalau semua kegiatanmu diluar sana udah selesai, langsung pulang ke rumah."
Mavin tersenyum getir sebelum kemudian menoleh pada sang ayah yang tetap fokus pada jalanan di depan sana. Semenjak mobil yang dikendarai ayah melaju meninggalkan pelataran rumah sakit, selama itu pula Mavin mendengarkan ayah yang menceramahinya. Seakan-akan ayah sudah lama menahannya dan mengeluarkan semuanya sekarang. Sementara Mavin hanya bisa menanggapinya dengan singkat, sebab Mavin sendiri sudah lelah mendengar setiap kalimat yang tak ingin ia dengar sama sekali.
Kadang Mavin bertanya-tanya, apakah ayah tidak lelah menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu sesuka hatinya? Meskipun Mavin tahu apa yang ayah perintahkan untuknya itu masih berada di jalan yang benar, tidak melenceng sama sekali. Tapi, pernahkah ayah bertanya pada Mavin tentang apa yang Mavin inginkan? Apa yang ingin Mavin lakukan?
Tidak, sama sekali tidak pernah.
Meskipun begitu, Mavin sama sekali tidak pernah membantah setiap perintah yang ayah berikan padanya dengan embel-embel ini yang terbaik untuk kamu, ayah tahu apa yang terbaik untuk kamu. Dan Mavin benci kenyataan bahwa dirinya yang selalu menuruti kemauan ayah.
"Kita mau kemana, Ayah?" tanya Mavin ketika menyadari kalau ayah mengambil jalan lain, alih-alih melewati jalan yang biasa dilalui ketika pulang.
"Mau sekalian jemput Caka dulu," jawab ayah dan Mavin hanya mengangguk singkat. Mavin baru ingat kalau Caka masih ada kelas tambahan menjelang lomba matematika yang diikutinya. Hingga detik berikutnya Mavin kembali mengarahkan atensinya pada ayah, "nggak sekalian jemput Harsa juga, Yah?" tanya Mavin. Mengingat tempat les Harsa yang searah dengan sekolah, maka akan jauh lebih baik menurutnya untuk menjemput Harsa lebih dulu.
Sekilas, ayah melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sebelum kemudian kembali fokus pada kemudinya. "Harsa palingan udah pulang bareng Jerry, biasanya gitu."
"Kan nggak ada salahnya cek dulu kesana, mana tahu Harsa masih ada."
"Tapi barusan Caka udah kirim pesan ke ayah, katanya dia udah nunggu di depan, sendirian. Ayah takut dia kenapa-napa."
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
Fiksi PenggemarTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"