59. Tidur yang nyenyak, Harsa.

3K 339 40
                                    

Malam itu, pintu kamar Mavin yang seharian tertutup rapat, tiba-tiba terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, pintu kamar Mavin yang seharian tertutup rapat, tiba-tiba terbuka. Seseorang dari dunia luar masuk begitu saja tanpa izin dan dengan seenaknya duduk di atas tempat tidurnya. Mavin jelas melirik tak suka. Bagi Mavin yang memiliki dunianya sendiri, menganggap orang-orang disekitarnya hanyalah orang dari dunia luar. Tak peduli jika orang tersebut adalah keluarganya sendiri. Dan aturan pertama yang ia berlakukan di dalam dunianya itu adalah, dilarang mengganggu Mavin.

Harsa, anak yang sebentar lagi lulus dari sekolah dasar itu menggaruk kepalanya dengan wajah yang menyengir seperti kuda. Penampilannya sangat kacau, seperti anak jalanan yang baru dapat uang hasil mengamen lalu tiba-tiba dipalak dan dihajar sama preman. Meskipun begitu, tak sedikitpun Mavin memandang iba atau menaruh belas kasih pada seseorang seperti Harsa. Toh, hingga detik ini pun anak itu masih bisa tersenyum lebar. Seolah-olah ia tidak memikirkan hari esok dan menganggap hidup seperti permainan anak-anak.

“Abang nggak capek belajar terus?” celetuk Harsa tiba-tiba. Kakinya ia naikkan ke atas tempat tidur, guna menumpu lengannya untuk menopang dagunya dan memandang aneh pada Mavin yang masih berkutat dengan buku-buku pelajaran di meja belajar.

“Udah berapa jam abang duduk disitu? Memangnya pantat abang nggak sakit?”

Mavin memejamkan matanya sejenak. Mavin jelas kesal, tapi ia mencoba untuk menulikan telinganya dan kembali melanjutkan kesibukannya.

“Belajar sih belajar, bang. Tapi nggak baik juga kalau abang nggak ada istirahat. Sesekali main gitu. Atau abang mau main basket nggak besok sama Harsa?”

“Kamu anak kecil yang kerjaannya cuma main dan bikin masalah, tahu apa memangnya,” balas Mavin dengan nada kesal tanpa sedikitpun menoleh pada Harsa yang kini tengah cekikikan disana.

“Bilang aja Abang takut kalah kalau main sama Harsa,” cibir Harsa yang kemudian memasang wajah sok keren hingga membuat Mavin berdecak kesal menatapnya.

“Sepertinya ini efek karena belajar berlebihan. Abang jadi capek dan gampang marah, ya.” Harsa masih berani membalas Mavin dengan candaannya, tak peduli jika kini Mavin tengah menghunuskan tatapan tajamnya pada Harsa.

“Kalau tidak ada keperluan disini, lebih baik kamu keluar. Urus adikmu yang menyebalkan itu,” tegas Mavin yang tampak dingin dan tangannya pun dengan senang hati menunjukkan pintu keluar pada Harsa.

“Siapa? Caka?” tanya Harsa sembari merubah posisinya dengan mengganti tangannya yang satu lagi untuk menopang kepalanya. “Caka kan adik abang juga. Kenapa abang bersikap seakan-akan Caka itu orang asing?”

Mavin memutar bola matanya kesal dan kembali menghadap pada buku yang ada di meja belajarnya. Mengabaikan Harsa yang lagi-lagi bersuara.

“Caka tadi masuk rumah sakit lagi, Bang.”

Tangan Mavin yang tadinya sibuk mencatat poin-poin penting yang ada di bukunya, seketika berhenti. Fokusnya pun menjadi pecah dan tak lagi memperhatikan dengan baik apa yang tertulis pada buku pelajarannya. Walaupun begitu, Mavin masih setia menghadapkan wajahnya pada buku-bukunya, alih-alih menoleh pada Harsa yang kembali bersuara.

DI BALIK HARSA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang