Satu menit berlalu sejak lift yang Harsa gunakan baru saja menutup pintunya dan mulai mengangkut Harsa menuju lantai 3, tempat dimana Caka dirawat. Hanya sendiri, membuat sepi semakin terasa. Menuntun Harsa untuk mengarahkan atensinya pada pantulan dirinya di permukaan pintu lift. Bibir nan pucat itu tersenyum singkat sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Menyedihkan. Begitulah pikir Harsa.
Di saat-saat seperti inilah Harsa membenci dirinya. Ketika maniknya nan sendu menemukan dirinya yang tampak tak baik-baik saja. Membuat Harsa semakin merutuki dirinya yang lemah dan menyedihkan ini. Padahal Harsa tak ingin terlihat seperti ini.
Bagaimana jika orang-orang melihat sisi menyedihkan dari dirinya? Harsa tidak mau, terlebih Caka.
Harsa tak ingin kehilangan senyum cerah yang selalu terpancar di wajah sang adik. Cukup penyakit yang ada di dalam tubuh Caka saja yang terkadang mencuri senyum cerah itu dari pemiliknya. Harsa tak ingin sisi menyedihkannya malah akan membuat Caka khawatir.
Selain itu, rasanya sedikit tidak pantas jika Harsa menunjukkan rasa sakitnya di depan Caka, sebab rasa sakit yang Harsa rasakan tidaklah seberapa dibandingkan Caka. Benar, tidak seberapa. Namun yang tidak seberapa itu sukses membuat Harsa merasa kalau dirinyalah yang paling menyedihkan.
Detik berikutnya hanya helaan napas yang terdengar dari bibir pucat Harsa bersamaan dengan wajahnya yang kini terangkat kala mendengar suara pintu lift yang terbuka setibanya di lantai 2. Memperlihatkan seorang pria dengan jas putih kebanggaannya berdiri mematung. Untuk beberapa detik manik nya saling bertemu dengan pria itu, sebelum akhirnya Harsa memalingkan wajahnya kala menyadari arti dari tatapan yang diterimanya.
"Harsa kamu nggak pa-pa?"
Harsa segera menjaga jarak aman kala pria itu menghampirinya. Bukan, pria itu bukan orang aneh atau semacamnya. Pria itu adalah dokter Dika, salah satu dokter yang bertugas di rumah sakit ini. Dan juga saudara tertua dari si kembar Acha dan Juna.
Alasan mengapa Harsa menjaga jarak aman karena Harsa tidak ingin dokter Dika melihat wajahnya yang pucat ini. Ya walaupun sebelumnya juga sudah ketahuan.
"Kamu sakit?"
Masih enggan untuk menatap lawan bicaranya, Harsa menggeleng.
"Jangan bohong. Saya nggak bodoh loh ya." Kedua tangan Dika kemudian bergerak menyentuh kedua sisi lengan Harsa dan dengan mudahnya memaksa pemuda itu untuk menghadap padanya. Namun tidak dengan manik pemuda itu yang masih enggan untuk membalas tatapan Dika. Seolah lantai tempat mereka berpijak lebih menarik untuk dipandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
FanficTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"