Di dalam kamar rawat, Edwin tampak larut dalam keterdiamannya. Sepasang matanya nan sembab itu menatap sendu pada Harsa yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur. Entah sejak kapan atau mungkin dirinya yang tidak terlalu memperhatikan, tapi wajah sang anak kini tampak tirus dari biasanya. Begitupun dengan berat badan yang tampaknya juga menurun.
Edwin menarik panjang napasnya, mencoba meraup oksigen di sekitarnya. Mencoba untuk tetap tenang meskipun kini bulir bening itu perlahan jatuh, membasahi pipinya. Edwin dengan cepat menghapus bekas air mata di kedua pipinya sebelum kemudian tangannya bergerak mengusap lembut surai hitam legam milik sang anak. Jika sang anak terbangun dan mengetahui ini, ia pasti akan tersenyum bahagia. Edwin mengetahui itu.
"Maafkan ayah, ya..." ucap Edwin, suaranya yang terdengar serak itu memecahkan keheningan yang sejak tadi menemaninya.
Mengingat keributan yang terjadi di rumah, Edwin menyadari kalau semua itu adalah kesalahannya dalam mengambil keputusan dan bertindak. Edwin pikir, ia sudah mengambil keputusan dan tindakan yang benar. Tak bisa dipungkiri, Edwin memang mengistimewakan Caka. Anak itu terlahir dengan kondisi kesehatan yang tidak terlalu baik dan untungnya pemeriksaan menyeluruh membuat mereka menyadari sejak awal mengenai kekurangan Caka. Hal itu pula yang membuat Edwin dan sang istri berusaha keras untuk mempertahankan Caka. Sejak kecil, si bungsu harus melalui berbagai macam perawatan dan menjalani terapi wicara secara intensif. Masa itu adalah masa-masa dimana Edwin bertarung bersama waktu dan keadaan, dimana ia hanya bisa berusaha sebaik mungkin dan menggantungkan harapan pada Tuhan.
Hal terburuk bagi Edwin selain kehilangan sang istri, yaitu ketika dokter mengatakan kalau kondisi jantung Caka tak begitu baik dan waktu yang tersisa tidak begitu banyak. Dokter mungkin mengatakan hal-hal baik saja kepada Caka, namun tidak dengan dirinya selaku ayah. Kebenaran mengenai kondisi Caka hanya dirinya seorang yang tahu selain dokter. Edwin takut jika tiba-tiba jantung yang ada ditubuh sang anak menyerah untuk bertahan setelah semua perjuangan yang mereka lakukan selama ini. Edwin takut jika ia belum bisa menjadi ayah yang baik untuk sang anak. Maka dari itu, Edwin selalu memberikan perlakuan terbaiknya pada si bungsu. Edwin tak ingin sang anak merasakan pahit dan kerasnya hidup, serta tak ingin membiarkan sang anak terluka sedikitpun.
Namun, Edwin agaknya lupa kalau keputusannya begitupun dengan tindakannya akan berdampak pada perkembangan anaknya yang lain jika Edwin sedikit saja mengambil langkah yang salah. Setiap orang bisa saja terluka, bahkan jika luka itu tak terlihat. Dan setiap orang juga bisa pergi kapanpun. Karena perjalanan akan berhenti jika sudah sampai di pemberhentian terakhir. Kapan pemberhentian itu akan berakhir, tidak ada yang akan tahu sebab waktu selalu memberi kejutan.
"Ayah ... kenapa menangis?"
Suara yang terdengar lemah itu seketika mengembalikan kesadaran Edwin. Segera ia mengusap sudut matanya sebelum kemudian ia kembali mengarahkan tatapannya pada sang anak yang kini tengah menatapnya khawatir.
"Kamu udah bangun, ya? Gimana, apa ada yang terasa sakit?"
Harsa menggeleng lemah bersamaan dengan bibir pucatnya yang membentuk garis tipis. Hanya beberapa saat sebelum akhirnya senyuman itu memudar. "Ayah, maaf. Harsa nggak bisa menepati janji untuk bawa bang Mavin dan Caka kembali. Kalau aja Harsa bisa lebih kuat lagi, Harsa pasti bisa menahan mereka. Maaf ya, Ayah. Jangan hukum Harsa ya, Yah. Harsa janji, setelah keluar dari rumah sakit nanti akan Harsa cari lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
Fiksi PenggemarTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"