Ketika matahari meninggalkan senja dan menyisakan malam yang gelap tanpa bintang, di saat itu juga Harsa melihat sang ayah pergi meninggalkan rumah bersama mobil sedan hitam yang dikendarainya. Pergi begitu saja setelah menurunkan Harsa tepat di depan gerbang rumahnya. Tak peduli dengan tatapan sendu yang Harsa tunjukkan saat itu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, atau hanya sekedar memberitahu kemana arah tujuan ayah selanjutnya, ayah hanya memalingkan wajahnya dan langsung putar balik meninggalkan Harsa sendiri.
Harsa yang tak tahu harus bersikap bagaimana lagi, hanya bisa membawa masuk langkah sepinya ke dalam rumah. Mencoba untuk tetap tenang walau di setiap langkahnya Harsa merasakan sesak. Rasa sesak yang sejak tadi memenuhi rongga dadanya. Hanya saja, kali ini Harsa tak lagi bisa menahannya.
Setibanya di dalam kamar, Harsa mencoba untuk meraup oksigen yang ada di sekitarnya. Berharap rasa sesak yang amat menyakitkan itu segera hilang. Namun entah kenapa, semakin Harsa mencoba, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Terasa sangat sakit hingga bahkan membuat pemuda itu mulai terisak hingga jatuh tersungkur sembari memukul-mukul dadanya.
Sekuat apapun Harsa mencoba meraup oksigen di sekitarnya, sekeras apapun Harsa memukul dadanya yang terasa sesak, semua itu tidak ada gunanya. Rasa sakit itu akan selalu ada. Begitupun dengan usaha Harsa selama ini. Harsa selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik. Selalu berusaha menjadi abang yang baik untuk adiknya. Selalu berusaha untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah. Semua itu Harsa lakukan agar mendapatkan pengakuan dari sang ayah.
Sekali saja, Harsa ingin dilirik atas pencapaian yang ia miliki, atas usaha yang ia lakukan. Namun nyatanya, ayah sepertinya tidak tertarik. Apakah ayah hanya melirik kesalahan Harsa dan memarahinya atas kesalahan yang ia lakukan? Ya, kenyataan yang Harsa lihat selama ini memang seperti itu.
Harsa akui kalau kali ini dirinya memang salah karena telah meninggalkan kewajiban yang seharusnya ia lakukan. Harsa juga tahu kalau biaya yang ayah keluarkan untuk bimbingan belajar yang ia tempuh selama ini tidaklah sedikit. Jadi wajar saja jika ayah memarahinya. Semua orangtua juga akan begitu, 'kan?
Tapi...
Hanya saja, pernahkah ayah meminta pendapat Harsa untuk mengikuti semua bimbingan belajar yang dijadwalkan untuknya itu? Tidak! Ayah tidak pernah meminta pendapatnya. Ayah hanya memberikan perintah. Menyuruh Harsa untuk datang di setiap jadwal bimbingan belajarnya. Walaupun begitu, Harsa tetap menjalani semua itu seperti yang ayah mau. Ya, seperti yang ayah mau. Seperti yang ayah perintahkan.
Namun...
"Lihat Mavin, dia selalu menuruti apa yang ayah katakan..."
Lagi-lagi Harsa kalah. Tak ada pengakuan dari ayah. Yang ada ayah hanya membandingkan dirinya dengan Bang Mavin. Anak pertama yang selalu ayah banggakan, anak pertama yang selalu menuruti perkataan ayah.
Lantas bagaimana dengan Harsa? Harsa juga menuruti perkataan ayah 'kan? Tapi sayangnya ayah tidak melihat itu. Ayah hanya melihat kesalahan dan kekurangan yang ada di dalam diri Harsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
Fiksi PenggemarTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"