Hari itu, hujan dengan intensitas ringan masih berlanjut hingga sore. Padahal awalnya langit biru terlihat bangga memulai harinya bersama mentari. Namun siapa yang menduga jika awan yang gelap tiba-tiba memperlihatkan diri dan menyembunyikan eksistensi matahari, hingga membuat hujan turun tanpa ada kata reda. Seolah enggan untuk beristirahat barang sedetikpun.
Jika disuruh memilih antara terjebak di luar ketika tengah menikmati akhir pekan atau terjebak seharian di rumah, mungkin Caka akan memilih untuk terjebak di luar saja. Meskipun hujan turun, setidaknya ia terjebak ketika tengah menikmati akhir pekan bersama keluarganya. Dibandingkan sekarang, ia terjebak di rumah bersama kedua saudaranya tanpa melakukan apa-apa. Sementara kedua orangtuanya masih belum kembali dari urusan masing-masing yang mengharuskan mereka meninggalkan anak-anaknya setelah menghabiskan sarapan bersama. Dan mungkin saja kedua orangtuanya kini juga sedang terjebak di luar sana karena hujan.
Di saat-saat seperti ini, yang paling Caka benci adalah ketika ia hanya bisa duduk melamun di balkon kamarnya, sembari mengamati anak-anak di komplek yang seumuran dengannya tengah bermain asyik bersama hujan di bawah langit sore yang gelap. Hanya bisa duduk dan mengamati kegembiraan yang terpancar di wajah mereka, bukankah kegiatan seperti itu adalah sesuatu yang menyebalkan? Bahkan tak jarang pula diantara anak-anak itu yang menunjuk-nunjuk ke arah Caka, meneriakinya dan menertawakannya.
"Caka! Ayo, sini!"
"Dia mana bisa denger. Dia 'kan tuli."
"Lebih baik Caka jangan diajak! Nanti dia sakit!"
"Caka mana bisa main-main kayak gini, hahaha dasar lemah!"
"Bisanya cuma duduk doang, hahahaha...."
Dengan kepala yang menunduk, Caka perlahan bangkit dari duduknya dan memilih untuk masuk ke dalam kamar sembari menutup rapat-rapat pintu balkon kamarnya. Terkadang, Caka pikir ada hikmahnya mengapa Tuhan menjadikan dirinya tuli. Dengan begitu ia tidak akan bisa mendengarkan kalimat-kalimat jahat yang ditujukan padanya. Namun sayangnya, di tengah hujan yang tidak terlalu deras itu, Caka masih bisa mendengar suara teriakan mereka, gelak tawa mereka, maupun ejekan yang mereka lontarkan.
Lantas alun-alun kedua tangannya bergerak meraih masing-masing hearing aid yang terpasang di kedua sisi telinganya. Kemudian melepaskan alat bantu dengarnya itu dan membuangnya begitu saja ke sembarang tempat.
Entah kenapa, Caka merasa jauh lebih baik ketika hanya ada keheningan tanpa suara yang menyapa rungunya.
Hingga tak lama kemudian, ia membawa langkah kecilnya berlari keluar kamar seraya menyerukan nama sang kakak. "Bang Harsaaaaaaa!" panggilnya, bahkan sebelum ia sempat membuka pintu kamar yang tertutup itu.
Harsa yang tengah asyik bermain game di komputernya, sontak menolehkan kepalanya ketika pintu kamarnya dibuka secara tiba-tiba. Cukup membuatnya terkejut akan keributan kecil yang disebabkan oleh si bungsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BALIK HARSA || HAECHAN
Fiksi PenggemarTentang Harsa yang selalu menunjukkan senyumnya, namun selalu menyembunyikan kesedihannya. "Bunda, berapa banyak air mata yang harus aku keluarkan di dunia ini?"