24. Sekarang giliran aku...

2.4K 282 20
                                    

Di bawah langit yang cerah, Caka hanya terdiam selama mendengarkan Harsa yang terus berbicara dan entah kenapa semakin kalimat itu keluar, semakin membuat dadanya terasa sesak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bawah langit yang cerah, Caka hanya terdiam selama mendengarkan Harsa yang terus berbicara dan entah kenapa semakin kalimat itu keluar, semakin membuat dadanya terasa sesak. Bukan, kali ini bukan karena penyakitnya.

"Ada yang sakit disini ketika melihat adik abang menangis seperti itu," kata Harsa lagi seraya menepuk pelan bagian dadanya.

Benar, sama seperti yang Harsa katakan beberapa detik yang lalu. Ada yang terasa sakit di dalam rongga dada ini. Begitu juga yang Caka rasakan sekarang ketika mendengar Harsa berbicara sementara ada rasa sakit yang tengah disembunyikan oleh kakaknya itu.

Detik berikutnya, helaan napas terdengar dari Caka yang kini turut menepuk pelan dadanya, sedangkan manik hitam pekatnya tak lepas menatap Harsa. "Disini juga ada yang sakit bang, ketika melihat abangnya yang sok kuat itu, rela menghampiri adiknya cuma buat ngomong yang Caka pikir nggak terlalu penting untuk disampaikan," ucap Caka.

"Kamu bicara apa, tentu ini penting. Abang nggak mau kamu terluka hanya karena perkataan orang lain."

Lagi, Caka menghela napasnya. Kali ini lebih terdengar frustasi. "Lebih baik kita ke UKS sekarang bang, itu jauh lebih penting menurut Caka," ucap Caka yang kemudian tanpa segan menarik paksa tangan Harsa dan menyeretnya begitu saja.

"UKS? Ngapain kesana? Kamu sakit?" Harsa yang kebingungan lantas menarik tangannya kembali, cukup membuat Caka menghentikan langkahnya dan kembali mengarahkan tatapan datarnya pada Harsa yang tengah menunggu jawabannya.

"Bukan aku. Tapi abang!"

"Abang?" tanya Harsa sembari mengarahkan telunjuk ke dirinya sendiri.

"Caka nggak bodoh, bang. Caka tahu mana orang yang benar-benar sehat dan mana orang yang berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja," ucap Caka yang kemudian atensinya perlahan mengarah pada seragam Harsa. Caka bisa menemukan ada noda darah di sana, begitupun dengan tangan Harsa.

Sadar akan kemana arah pandangan Caka, Harsa dengan cepat menggosok-gosok telapak tangannya sambil terkekeh, "Ah, ini..."

"Kenapa? Abang mau mencoba mengelak lagi? Mau bilang itu bukan darah tapi bekas cat lukis?"

"Nggak, abang nggak bilang itu!"

"Lalu apa? Bukan darah abang? Tapi darah orang? Abang habis bunuh orang, gitu?"

"Hush! Kamu ini! Jangan sembarangan!" balas Harsa tampak panik sembari melihat-lihat ke sekitar. Takut-takut kalau ada orang yang mendengarnya dan menjadi salah paham.

Tak ada balasan lagi dari Caka selain tatapan kesal yang ia arahkan pada sang kakak, sementara tangannya sibuk mengeluarkan saputangan dari saku seragamnya.

"Pakai ini!"

Melihat Caka yang menyerahkan saputangan miliknya, Harsa langsung menyentuh bagian bawah hidungnya. Seketika membuat Harsa langsung memejamkan matanya kesal. Dalam hati, Harsa merutuki dirinya ketika menemukan ada darah yang lagi-lagi keluar dari lubang hidungnya. Lantas ia segera mengambil alih saputangan tersebut dari tangan Caka.

DI BALIK HARSA || HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang