BAB 3: Layaknya Pasangan Pada Umumnya

1.9K 316 5
                                    


Tepat pukul lima pagi, Sahna membangunkan Saga. Lelaki itu mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum membuka matanya. Satu, dua, tiga. Sahna menghitung dalam hati. Lalu, dia tersenyum.

"Sudah pagi, Mas." Sahna melenggang ke arah jendela kamar. Dia membuka jendela itu. Di luar tidak terlalu terang, tetapi tidak juga gelap. Udara dingin menerpa wajah Sahna. "Aku sudah siapin air hangat. Hari ini dingin sekali. Suhunya sampai dua puluh derajat."

"Hmmm ..." itu jawaban Saga. Dia belum benar-benar terjaga. Ditambah lagi, kemarin dia sangat lelah. Dia sudah tidur dengan pulas, tetapi sekarang tubuhnya seperti dihantam ribuan kelapa muda.

Sahna berjalan ke sana kemari. Dia membuka lemari pakaian, mengambilkan pakaian Saga dan handuk bersih. Diletakkan tumpukan kain bersih itu ke atas ranjang di sisi Saga. Selama Sahna berjalan ke sana kemari, aroma tubuh perempuan itu menghampiri hidung Saga. Aromanya tubuh Sahna hanya dari sabun mandi, bukan parfum. Saga bertanya-tanya, kenapa aroma sabun mandi Sahna begitu memikat, padahal mereka memakai sabun mandi yang sama.

"Aku mau pergi belanja. Mas Saga mandi dulu, ya." Sahna terus berbicara, kemudian dia keluar dari kamar sembari membawa dompet kecil berwarna abu-abu.

Sahna melakukan banyak hal untuk Saga. Dia menggantikan ibunya. Membangunkannya, membuatkan Saga makanan, mencucikan pakaiannya, merawat rumah dengan baik dan selalu santun pada Saga. Hanya satu hal yang tak bisa dilakukan Sahna untuk Saga yakni memenuhi hasrat Saga meskipun Sahna sudah menjadi haknya.

Orang-orang melihat Saga dan Sahna seperti pasangan muda pada umumnya. Hidup bahagia dan berkecukupan. Tapi, mereka tidak tahu, Saga belum menyentuh Sahna sama sekali. Bahkan, sekadar berciuman.

Saga sendiri tidak tahu alasannya, kenapa dia bertahan dengan Sahna. Dengan perlakuan perempuan itu. Saga memanjangkan sabarnya, percaya suatu saat Sahna akan melihatnya.

Saga mendesah. Dia segera mengambil handuk bersih yang disediakan oleh istrinya, kemudian dia masuk ke kamar mandi. Di sana sudah tersedia bak berisi air panas yang dimasak oleh Sahna sendiri. Setiap hari, Sahna melakukan itu untuk Saga.

Saga bertanya, kenapa perempuan bisa melakukan banyak hal, bahkan untuk orang yang tidak dicintainya.

***

Sahna sudah sampai kampus pukul delapan lebih sepuluh menit. Hari ini ada kelas pagi jam setengah sepuluh. Dia berangkat dengan suaminya, Saga. Hal ini sudah sering dia lakukan, tentu saja. Saga selalu mengantar dan menjemput Sahna. Sejak menikah, Sahna seperti bukan dirinya sendiri. Kehidupannya, sudah berubah.

Sebagai seorang istri, Sahna tidak sebebas dulu. Dia tak bisa lagi pergi bersama teman-temannya usai kuliah. Bahkan, dia hampir tak pernah pulang malam lagi. Saga akan menjemputnya tepat waktu dan mengantarnya pulang. Sahna sendiri tidak tahu, Saga akan melarangnya atau tidak apabila izin keluar bersama teman-temannya, sebab dia tak pernah melakukannya.

Interaksinya dengan Saga sekadar menyiapkan makanan atau ketika Saga mengantar dan menjemputnya. Tak ada percakapan serius yang melibatkan keduanya, kecuali pertengkaran yang terjadi karena Sahna menolak disentuh.

Sahna tahu jelas perbuatannya itu tidak baik. Sudah menjadi hak Saga untuk menyentuhnya. Tapi, Sahna benar-benar belum siap disentuh oleh laki-laki yang tak dicintainya. Bahkan, Sahna belum merasa nyaman didekat Saga. Selama ini Sahna hanya menganggap Saga seperti saudara. Tidak lebih.

Namun, Sahna berjanji pada Saga, suatu saat dia akan mau melakukannya. Meskipun, Sahna sendiri tidak tahu kapan waktunya.

"Heh, bengong aja!" seru Augi ketika melihat Sahna berjalan tanpa mempedulikan panggilannya.

"Hai, Au," sahut Sahna. "Kamu sudah di kampus rupanya."

"Aku dari tadi panggil kamu, loh. Enggak dengar?" Augi mendekap beberapa buku. Sahna lihat, Augi hanya membawa tas kecil yang hanya cukup diisi ponsel dan dompet.

Sahna menggeleng. "Maaf."

"Apa sih, pakai maaf segala?" Augi terus berbicara. "Kamu sudah mengerjakan tugas Pak Ruslan, kan?" tanya Augi lagi. Dia takut Sahna melupakan tugasnya. Awal-awal menikah Sahna sering melakukannya. Dia bilang masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Augi tahu, Sahna tidak benar-benar menginginkan pernikahan itu.

Augi tahu jelas, siapa lelaki yang menghuni hati Sahna yang sepi itu. Halil. Hanya Halil. Makanya, ketika Sahna berkata pada Augi akan menikah dengan seseorang bernama Saga, Augi terkejut. Ketika Augi bertanya alasannya, Sahna tersenyum dan berkata, "Saga sudah dewasa."

Sahna mengangguk. "Sudah, kok. Tenang saja."

"Omong-omong, kata kelas sebelah hari ini Pak Ruslan bakalan bagi kelompok," lanjut Augi. "Kata mereka kelompok untuk satu semester."

Sahna acuh tak acuh. Dia sama sekali tidak peduli Pak Ruslan akan membagi kelompok untuk satu semester. Dia hanya memikirkan kehidupannya. Pernikahannya dengan Saga telah menyita banyak perhatiannya.

"Kamu melamun terus, ya?" seru Augi. Dia menarik lengan Sahna dan mengajaknya duduk di kursi beton di halaman kampus. Kelas akan dimulai dua puluh menit lagi, tetapi Augi justru mengajak Sahna duduk.

"Kamu kenapa, sih, Na?" tanya Augi cemas. "Cerita sama aku."

Sahna menggeleng. "Tidak ada masalah serius. Aku hanya lelah."

Augi mendesah. Dia tahu, Sahna belum bisa menerima pernikahannya. Augi mengelus bahu Sahna perlahan. "Kalau ada apa-apa, tidak apa-apa, kok, cerita ke aku."

Sahna tersenyum, kemudian mengangguk.

Tiga puluh menit kemudian, kelas Pak Ruslan dimulai. Pak Ruslan meletakkan buku-bukunya ke atas meja, kemudian membetulkan letak kacamatanya. Lalu, dia berkata, "Hari ini saya bagi kelompok kalian, ya. Kelompok ini berlaku satu semester."

Terdengar bisik-bisik seluruh kelas. Mereka berharap dapat teman kelompok yang bisa diandalkan, sebab itu akan berpengaruh dengan hasil nilai akhir mereka.

Pak Ruslan menyebutkan satu per satu nama mahasiswa yang tergabung dalam lima kelompok. Dada Augi berdebar ketika namanya belum juga disebut. Lalu, Augi masuk ke kelompok empat.

"Yah, kita enggak satu kelompok, Na," keluhnya pada Sahna. Dia mengerucutkan bibirnya dan menautkan kedua alisnya. "Menyebalkan."

"Sudah sana," kata Sahna. Augi segera meraih tas dan buku-bukunya, kemudian berdiri menghampiri kelompok empat.

Sekarang, tinggal kelompok lima dan Sahna tergabung dalam kelompok itu. Maka, dia menunggu Pak Ruslan menyebutkan siapa saja anggota kelompok lima.

"Dahlia, Meyta, Yonas, Sahna, dan Halil," ucap Pak Ruslan. Sahna tertegun. Dia sama sekali tidak berpikir akan satu kelompok dengan Halil. Kemungkinan itu sangat kecil, tetapi bagaimana bisa?

Tapi, mau tak mau, pada akhirnya Sahna akan berurusan dengan Halil juga. Mau dihindari sejauh apa pun, mereka akan tetap berinteraksi. Dia dan Halil satu kelas, tentu saja akan bertemu terus menerus dan bahkan satu kelompok seperti sekarang.

Sahna mendesah, kemudian meraih tasnya dan mencari kelompok lima. Sesampainya di kelompok lima, Sahna meletakkan tasnya ke kursi dan di saat itu pula Halil datang melakukan hal yang sama.

Sahna tersenyum kepada Halil. Dengan canggung.

***

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang