Saga memarkirkan mobilnya di tempat parkir kampus. Dia datang tiga puluh menit lebih awal dari jadwal menjemput Sahna. Lelaki itu tidak bisa berkonsentrasi dengan benar. Kepalanya penuh dengan Sahna dan perasaannya penuh dengan penyesalan. Semestinya, dia tidak melukai perempuan itu atau lebih tepatnya semestinya dia tidak menghancurkan kepercayaan Sahna.
Kini, Saga mencari tahu apa saja yang harus dia lakukan agar istrinya itu benar-benar memaafkannya.
Saga mencengkeram kemudi, lalu menundukkan kepalanya. Lelaki itu mengingat kembali kejadian demi kejadian malam itu di Jakarta. Sejujurnya, Saga pun tidak menyangka Sahna akan di sana malam itu. Dia sama sekali tidak menyangka Sahna memiliki keberanian sebesar itu.
Bodoh.
Lelaki itu mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan pada Sahna. Dia mengatakan pada Sahna bahwa dia sudah menunggu di tempat parkir. Lalu, sebuah pesan masuk. Dari Ayana.
Saga menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Ayana mengirim pesan mengenai pekerjaan. Perempuan itu masih masuk seperti biasa. Namun, apa yang telah dilakukan Ayana membuat kehidupan Saga berantakan.
Semestinya, Saga bisa lebih tegas pada Ayana. Tapi, lelaki itu tidak tega melakukannya.
Bagaimana sekarang?
Saga membalas pesan Ayana seperlunya, kemudian kembali menunggu Sahna. Selang beberapa menit, Saga mendapati pesannya dibaca oleh Sahna dan perempuan itu mengetik sebuah pesan.
Iya, Mas.
Begitu balasan yang didapatkan Saga dari Sahna. Begitu saja hatinya terasa lega. Saga berharap, Sahna tidak akan lagi membahas mengenai masalah di Jakarta. Lebih penting lagi, Saga berharap Sahna tidak berpikir macam-macam. Tapi, bagaimana mungkin?
Setelah menunggu selama dua puluh menit, akhirnya Saga melihat Sahna dari kejauhan. Istrinya itu berjalan ke arah mobilnya. Dengan cepat, Saga turun dari mobil dan menunggu Sahna sampai.
"Gimana hari ini?" tanya Saga, begitu Sahna berada di depannya. Lelaki itu menyentuh rambut Sahna.
"Baik," jawab Sahna. Tentu, mendengar jawaban Sahna membuat Saga sedikit lega. Paling tidak, istrinya itu tidak diam saja.
"Kita makan di luar, ya," ucap Saga lagi. Sahna mengangguk.
***
"Kamu mau makan apa?"
Saga bertanya pada Sahna. Istrinya itu duduk di kursi penumpang dengan tenang. Sesekali, Saga melihat ke arah perempuan itu, mengecek ekspresi wajahnya. Namun, Saga sama sekali tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Sahna dari wajah itu.
Sahna tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Perempuan itu hanya menatap lurus ke depan, tanpa mengomentari sesuatu atau mencoba berbicara sesuatu.
Sahna menoleh, lalu berkata, "Nasi pecel?"
"Oke."
Saga membawa Sahna ke sebuah warung yang terletak di kawasan Simpang Lima. Kawasan tersebut satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Saga. Dia sering datang ke sana untuk makan nasi pecel. Setelah Saga memarkirkan mobil dan mematikan mesin mobil, dia menoleh ke arah Sahna.
"Di sini, ya," ucapnya. Sahna menarik sudut-sudut bibirnya, lalu mengangguk.
Lelaki itu segera turun dari mobil, berjalan memutar dan hendak membukakan pintu untuk Sahna. Namun, dia melihat Sahna sudah turun.
"Mas biasanya makan pecel di sini," kata Saga. "Semoga kamu cocok, ya."
Sahna mengangguk.
Mereka berdua berjalan ke arah warung nasi pecel. Warung tersebut merupakan warung kaki lima dengan gerobak yang ditutupi terpal dan kain. Sore itu, warung tersebut tidak ramai. Hanya ada dua orang laki-laki di sana. Di balik gerobak, seorang perempuan berusia awal lima puluh tahun sedang sibuk menyiapkan sepiring nasi pecel.
Saga mengajak Sahna duduk di kursi panjang di depan gerobak, lalu dia memesan dua nasi pecel dan dua gelas teh hangat.
"Mau nambah lauk?" tawar Saga pada Sahna.
"Yang biasa saja," jawab Sahna.
Saga mengangguk. Lalu, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk. Lagi-lagi, dari Ayana. Saga segera mengantongi benda itu tanpa membaca pesan dari Ayana. Tiba-tiba saja, dadanya berdetak lebih cepat, seakan-akan dia ketahuan untuk kedua kalinya. Saga melihat ke arah Sahna. Istrinya itu sibuk bermain ponsel.
Apa Sahna menyadari bahwa Saga mendapatkan pesan dari Ayana?
Keduanya makan bersama tidak sampai satu jam. Lalu, mereka memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Saga berjalan mendekati Sahna yang baru saja membuka pintu ruang tamu. Lelaki itu menyentuh lengan Sahna.
"Sah," panggilnya. Sahna menoleh. "Mas ingin bicara."
"Iya?"
"Mas nggak tahu harus mulai dari mana," ucap Saga. "Hanya saja, mas masih merasa bersalah."
Sahna tidak berkata apa pun. Dia diam saja menunggu Saga menyelesaikan kalimat demi kalimatnya. Lalu, Saga membawa Sahna ke arah dapur, mereka duduk di kursi makan.
"Kamu masih marah sama mas?" tanya Saga. Dia memperhatikan Sahna dengan serius. Istrinya itu langsung melihat ke arah lain, ketika pertanyaan itu muncul. Saga tidak langsung mengatakan kalimat berikutnya, dia memperhatikan Sahna dan menunggu istrinya mengatakan sesuatu.
"Sahna nggak tahu," jawab Sahna, akhirnya. Dia menggigit bibir bawahnya. "Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana."
Hening. Baik Saga maupun Sahna membiarkan kesunyian mengambil alih.
"Mas tahu, ini pasti berat ...."
"Apa ini karma atas apa yang aku lakukan?" sahut Sahna. Dia memotong kalimat Saga. Rasanya, dia begitu sesak. Dia tidak tahan untuk tidak bertanya. "Pikiran itu terus mengganggu. Apa Mas Saga melakukannya karena balas dendam?"
"Kenapa kamu berpikir begitu?" balas Saga. "Sudah pasti nggak, Sah."
"Lalu ...." suara Sahna tertahan. Dia merasakan tenggorokannya tercekat dan rasanya dia sulit untuk bicara. "Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?"
Saga tidak langsung menjawab pertanyaan Sahna. Dia sedang mempertimbangkan banyak hal. Apa yang akan terjadi dengan pernikahannya jika Saga mengatakan yang sejujurnya pada Sahna? Apa mereka akan baik-baik saja setelah ini? Untuk mendapatkan hati Sahna sangat sulit bagi Saga. Keduanya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa saling dekat, tetapi justru kejadian seperti ini terus terjadi.
Saga mendesah.
Kejadian malam itu masih berputar dalam benak Saga. Pun ketika betapa terkejutnya dia menemukan Sahna di lobi hotel dengan wajah pucat. Hati Saga mencelus sekaligus berdetak dengan cepat. Dia tidak menyangka bagaimana bisa Sahna berpikiran untuk mendatanginya ke Jakarta, sedangkan perempuan itu tidak pernah ke mana-mana.
Memikirkan hal itu saja membuat Saga sangat merasa bersalah. Namun, apabila Sahna tahu apa yang sebenarnya, perempuan itu pasti membencinya. Akan tetapi, apabila dia tidak jujur dengan kejadian di malam itu, Sahna akan lebih membencinya seandainya dia tahu dari orang lain.
Apa yang harus Saga lakukan?
"Mas?" panggil Sahna lagi. "Kenapa diam saja?"
"Mas ...." kalimat Saga terputus. "Mas akan cerita," putusnya. "Mas tahu, kamu akan membenci mas setelah mendengarnya. Tapi, mas akan tetap cerita."
Sahna menelan ludah. Belum juga Saga bercerita, dia sudah memiliki perasaan yang buruk. Namun, apa pun itu, dia harus mendengarnya. Sebab, apabila tidak, itu akan menjadi duri dalam hidupnya.
Maka, Saga bercerita apa yang terjadi malam itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Sahna
General FictionPernikahan itu tidak pernah diinginkan oleh Sahna. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Sahna masih ingin kuliah dan bekerja untuk dirinya sendiri. Tapi, Sahna tidak bisa menolak keinginan kedua orang tua angkatnya. Mereka begitu baik padanya, mere...