BAB 46: Sebuah Keputusan

662 102 9
                                    



Saga membicarakan mengenai Ayana ketika mereka hendak tidur. Malam itu, Sahna tidur dengan kepala di atas lengan Saga. Suaminya itu mulai bercerita. Saga menceritakan mengenai hal yang dialami Ayana dan dia berjanji pada Ayana untuk membantunya.

Sahna menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar cerita Saga mengenai Ayana. Dia segera duduk dan menghadap Saga yang masih merebahkan diri. Lelaki itu menumpuk bantalnya, sehingga kepalanya sedikit ke atas.

"Kenapa Mas Saga nggak pernah cerita?" tanya Sahna. Jadi, kedekatan Saga dan Ayana selama ini karena hal itu.

"Ini Mas cerita, 'kan?" ucap Saga. "Ayana melarang."

"Oh."

Kini, Saga memilih untuk menegakkan badannya. Lalu, dia meraih kedua tangan Sahna. Perlahan, dia melihat ke arah kedua mata istrinya itu. Sahna tersenyum malu-malu.

"Aku mau minta izin," ucap Saga. "Ayana butuh aku untuk membantunya mengurus ini. Kami berencana melaporkan kakak tirinya ke polisi dan Ayana hanya punya ibunya."

Sahna tidak langsung menanggapi pernyataan Saga. Dia melihat ke arah suaminya itu.

"Dengan kata lain, Mas Saga akan lebih sering bertemu dengan Ayana?" tanya Sahna.

"Setiap hari juga bertemu, 'kan?" sahut Saga. "Bedanya, Mas Saga akan sering membahas masalah pribadi dengan Ayana. Biasanya, kan, bicara soal kerjaan."

Dalam benak Sahna saat ini, dia ingin mengiyakan apa yang diminta oleh Saga. Tapi, dia menahan diri terlebih dahulu. Dia memikirkan lebih jauh. Sewajarnya, perempuan akan mudah bersimpati akan musibah yang dihadapi orang lain, seseorang yang lebih lemah daripadanya, seseorang yang memiliki kisah hidup yang lebih menderita darinya. Tapi, sejak Sahna tahu bahwa Ayana menganggap Saga lebih dari atasannya, Sahna memilih untuk berpikir terlebih dahulu. Maka, itulah yang dikatakan Sahna pada Saga.

"Boleh Sahna berpikir dulu?" tanyanya dengan hati-hati. Suaranya rendah, dadanya bergetar. Dia ingin berpikir dengan jernih, agar tidak ada keraguan di hatinya atas Saga.

"Kamu nggak percaya sama mas?" tanya Saga.

Sahna menggeleng dengan cepat, "Bukan begitu."

"Lalu?" tanya Saga lagi.

"Sahna butuh waktu untuk berpikir sebaiknya bagaimana," jelas Sahna. "Nggak apa-apa, 'kan?"

Saga mengulum bibirnya, lalu dia mengangguk. "Tentu. Mas tunggu, ya."

Sahna mengangguk.

***

Hari itu, di kampus, Sahna sedikit melamun. Dia harus cepat memberikan keputusan atas permintaan Saga. Banyak yang harus dipertimbangkannya, tetapi dia juga harus cepat mengambil keputusan itu karena Ayana membutuhkan bantuan.

Dia sedang berada di kantin bersama Augi. Perempuan di depan Sahna melihat ke arah Sahna, lalu menjentikkan dua jarinya di depan perempuan itu.

"Kamu kenapa?" tanya Augi.

Sahna terkejut. Dia melihat ke arah Augi. Baru saja Sahna ingin membuka mulutnya, tetapi dia mengurungkan. Dia berpikir bahwa masalahnya ini tidak sepatutnya dia ceritakan pada Augi, orang luar dari hubungannya dengan Saga. Mendengarkan pendapat Augi pun bisa membuat keputusan Sahna goyah dan tidak dari diri sendiri. Maka, Sahna tutup mulut. Dia berusaha menyembunyikan hal-hal mengenai Saga. Entah sampai kapan.

Sahna tersenyum, lalu menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Au. Mengantuk saja," dustanya.

Augi mengangguk. Perempuan itu melanjutkan makan siangnya. Sahna juga melakukan hal yang sama.

Tak lama kemudian, seseorang duduk di kursi yang ada di antara Augi dan Sahna. Orang itu adalah Halil. Begitu Halil duduk, Augi melihat ke arah lelaki itu, sedikit terkejut.

"Gabung, ya," kata Halil. Sahna melihat ke sekeliling. Di dekat mereka masih banyak kursi kosong. Itu berarti, Halil memang ingin duduk dengan mereka. "Nggak enak makan sendiri."

Sahna mengangguk. Lalu, dia melihat ke arah Augi. Perempuan itu menunduk. Sahna menautkan kedua alisnya dengan heran. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap Augi, tetapi dia tidak tahu apa itu.

"Kalian nggak lagi ngobrol serius, 'kan?" tanya Halil. Dia menusuk baksonya dengan garpu, kemudian melahapnya dengan penuh nafsu. Dia benar-benar seperti orang kelaparan.

"Nggak, kok," ucap Sahna. Lagi-lagi, Sahna melihat Augi hanya diam saja. Tidak seperti biasanya. Augi tipe perempuan yang ceria. Bahkan, setiap bertemu Halil dia akan bicara panjang lebar. Tapi, kali ini berbeda.

"Kamu kenapa, Au?" Halil lebih dulu bertanya pada Augi. Sepertinya, dia juga sadar akan perubahan Augi. Memang, untuk perempuan yang ceria, lalu tiba-tiba menjadi pendiam akan menimbulkan pertanyaan.

Augi melihat ke arah Halil. Dia tersenyum lebar. "Apa, sih? Nggak kenapa-kenapa. Memangnya, aku kenapa?" dia berbicara dengan cepat, lalu diam. Hal ini justru membuat Sahna semakin curiga.

Halil terlihat biasa saja. Dia meneruskan makan siangnya tanpa bertanya lebih lanjut pada Augi. Berbeda dengan Halil, Sahna justru memikirkan sikap Augi yang berbeda dari biasanya.

Sahna meralat pikirannya. Bukan berbeda dari biasanya, tetapi sikap Augi berbeda begitu Halil bergabung dengan mereka.

Mendadak, perasaan Sahna tidak enak. Dia memikirkan kemungkinan yang terjadi pada Augi.

Sahabatnya itu, menyukai Halil.

***

Hari itu, Sahna sudah memutuskan. Hal ini dia putuskan seorang diri. Baginya, mengambil keputusan seorang diri memberikan dia kebebasan. Saat keputusan yang diambilnya kelak berubah menjadi musibah, maka tidak akan ada orang yang akan disalahkannya. Dia akan menerima itu dengan lapang dada buah dari kesalahannya sendiri.

Keputusan itu Sahna ambil karena percaya pada Saga. Dia percaya lelaki itu tidak akan berbuat macam-macam. Untuk saat ini, dia hanya ingin mempercayai itu dan Saga membantu Ayana demi kebaikan perempuan itu.

Pikiran Sahna sederhana. Jika Saga ingin berbuat macam-macam, lelaki itu akan diam-diam membantu Ayana dan tidak akan meminta izin Sahna.

Maka, ketika mereka makan malam dengan dua nasi goreng yang dibeli Saga sepulang dari kantor. Sahna membereskan peralatan makan, membersihkan meja, kemudian mencuci piring. Lalu, mereka duduk berdua di sofa yang ada di ruang tamu. Sahna mengatakan keputusannya.

"Mas Saga boleh membantu Ayana," ucap Sahna tanpa basa basi.

Saga menarik sudut-sudut bibirnya. Dia merasa bangga dengan Sahna karena perempuan itu peduli dengan perempuan lain dan percaya padanya. Saat ini, tidak ada hal lain di hatinya kecuali kebanggaan bahwa dia menikahi perempuan yang tepat.

Sahna tahu bahwa Saga tidak akan bisa tidak peduli dengan keadaan Ayana. Karena memang seperti itu seorang Sagara.

"Tapi, Sahna ingin Mas Saga tahu. Sahna melakukan ini karena percaya dengan Mas Saga," tambah Sahna. "Jadi, aku minta sama Mas Saga untuk menjaga kepercayaan itu."

"Tentu," sahut Saga percaya diri. Dia merasa tidak akan membuat Sahna sakit hati atau salah paham dengannya. Lelaki itu mendekati Sahna dan memeluk istrinya dengan erat. "Terima kasih." Dia mengucapkan itu dengan tulus.

Baik Saga maupun Sahna tidak pernah tahu, bahwa keputusan yang Sahna ambil membuat rumah tangga mereka berantakan.

***

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang