BAB 21: Pusat Kebahagiaan Saga

1.2K 187 7
                                    

Piring-piring dan gelas yang ada di sisi wastafel terlihat lebih bersih dan kering daripada sebelumnya. Sahna ingat, dulu ketika ibunya masih ada, Sahna pernah mencuci piring dan langsung dia letakkan di rak piring. Ibunya berkata bahwa Sahna harus mengelapnya dengan kain bersih, agar piring-piring tersebut lebih bersih dan tidak ada bercak air. Sampai sekarang, Sahna masih melakukan hal yang sama.

Sama seperti ketika ibu angkatnya atau bibinya itu mengajarkan Sahna merebus sayur. Bibinya berkata agar dikasih garam sedikit supaya rasa sayurnya tidak hambar. Sahna pikir, sayur sudah memiliki rasanya sendiri, namun bibinya itu memiliki pendapat berbeda. Meskipun begitu, Sahna tetap menurutinya dan dia juga melakukannya sampai sekarang.

Sahna suka mengingat seseorang dari apa yang mereka ajarkan. Baginya, setiap orang yang ditemuinya memberikan pelajaran berarti. Setiap orang adalah guru kehidupan dan itu sangat berharga.

Setelah selesai membersihkan dapur bekas minum teh bersama Saga, Sahna kembali mematikan lampu dapur. Dia mengelap tangannya yang basah, kemudian termenung. Dia mengingat ekspresi Saga ketika Sahna berkata bahwa memiliki rumah itu adalah impian Saga, bukan Sahna. Terlihat jelas bahwa Saga kecewa. Tapi, Sahna hanya berkata yang sejujurnya. Dia tidak berharap apa pun mengenai tempat tinggal mereka. Di sini saja lebih dari cukup.

Namun, Saga berbeda. Dia ingin memberikan yang terbaik bagi Sahna.

Sahna mengembuskan napas. Lalu, berjalan ke arah kamarnya. Dia membuka pintu kamar secara perlahan. Di dalam, dilihatnya Saga sudah tertidur. Dahi Sahna berkerut. Tidak biasanya suaminya itu tidur cepat. Biasanya, dia akan membaca buku terlebih dahulu sebelum tidur. Mungkin hari ini dia lelah, batin Sahna.

Maka, Sahna segera mematikan lampu kamar dan berjalan ke arah ranjang. Perlahan, Sahna naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya. Dia mencoba untuk memejamkan matanya, agar bisa tidur lebih cepat. Nyatanya, pikiran Sahna masih mengingat perbincangannya dengan Saga.

Sahna mendesah. Dia berharap Saga tidak salah paham dengan jawaban Sahna.

***

Pukul enam pagi, Sahna sudah selesai menyiapkan sarapan. Seperti biasa, dia ke kamar dan membangunkan Saga. Lelaki itu ternyata sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk.

"Sudah bangun, Mas?" tanya Sahna basa-basi. Dia segera membuka tirai jendela sehingga sedikit cahaya masuk ke kamar. "Sarapannya sudah siap."

Saga tidak menjawab. Dia segera keluar kamar tanpa melihat ke arah Sahna.

Sahna tertegun. Ini perasaannya saja atau Saga sedang bersikap dingin padanya?

Sambil menunggu Saga selesai mandi, dia menyiapkan pakaian Saga hari itu. Dia menatap lemari pakaian Saga. Dia mengingat kembali, kemarin lelaki itu memakai baju warna apa. Kemudian, Sahna memutuskan mengambil kemeja berwarna hijau sage dengan celana jeans hitam. Setelah mengambilnya dari lemari, Sahna menggantungnya di pintu lemari. Lalu, dia sibuk membereskan ranjang mereka.

Tak lama kemudian, Saga kembali ke kamar dengan memakai kaus dan celana pendek. Dia sibuk mengeringkan wajahnya dengan handuk.

"Mas, pakaian kamu kemarin di mana?" tanya Sahna basa-basi. Dia ingin tahu reaksi Saga.

"Di bak cuci," jawab Saga singkat.

"Oh."

Sahna kemudian keluar kamar dan dia mandi.

Selesai mandi, Sahna berganti pakaian, lalu keluar kamar. Ketika dia sampai di ruang makan, Sahna sudah melihat Saga mulai sarapan. Sahna yakin, Saga sedang kesal padanya. Tidak biasanya Saga sarapan terlebih dahulu. Laki-laki itu selalu menunggu Sahna. Mereka selalu sarapan berdua.

Sahna menarik kursi tidak jauh dari Saga. Dia mengambil piring, kemudian memasukkan nasi ke atasnya. Dia juga mengambil sayur bening dengan bayam, dadar jagung, kemudian sambal terasi. Dia mulai sarapan tanpa berkata apa-apa. Begitu juga dengan Saga.

Setelah selesai sarapan yang dingin itu, Sahna membereskan meja makan dan bersiap-siap untuk kuliah. Dia pergi ke kamar dan mengambil tasnya. Saga sendiri menunggu Sahna di ruang tamu. Begitu Sahna muncul, Saga berdiri.

"Mas marah sama aku?" tanya Sahna. Dia tidak tahan untuk bertanya.

Saga membalikkan tubuhnya. "Nggak," jawab Saga.

"Rencana mengenai rumah, itu impian Mas Saga," kata Sahna. "Aku nggak peduli tinggal di mana saja. Di sini juga cukup," jelas Sahna.

"Ayo, sudah siang," kata Saga. Dia tidak mempedulikan omongan Sahna. Hal itu membuat Sahna kesal.

"Kalau memang nggak marah, kenapa bersikap dingin?"

"Aku ingin punya rumah untuk kita tinggali," kata Saga. "Kamu dan aku."

"Iya, aku tahu. Tapi, bukan berarti aku harus bersemangat untuk itu, 'kan?" ucap Sahna. Dia mendekatkan dirinya, "Aku nggak masalah tinggal di sini atau di rumah yang Mas Saga bicarakan," Sahna mengambil jeda. "Mas Saga harus bangga dengan pencapaian Mas Saga sendiri. Cita-cita Mas Saga, walaupun aku nggak ada."

Saga menatap Sahna. Kalimat yang keluar dari kalimat Sahna membuat Saga tertegun. Kenapa kalimat itu seakan-akan mengatakan Sahna akan pergi.

"Apa maksud kamu?"

Suara Sahna melunak, "Maksud aku, lakukan hal yang membuat Mas Saga senang dan bahagia. Jangan tergantung sama kebahagiaan aku."

"Tapi, kebahagiaanku memang ada pada kamu, 'kan?" tanya Saga lirih. Lalu, dia berbalik pergi ke arah mobilnya.

Sahna menutup matanya, kemudian membukanya lagi. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Saga.

***

Presentasi yang diadakan Sahna dan kelompoknya berjalan lancar. Mereka menarik napas lega begitu Halil menutup presentasi mereka.

Di jam istirahat, Sahna dan Augi duduk berhadapan di kantin. Mereka memesan dua mangkuk bakso, kemudian Sahna memanggil Augi.

"Kenapa?"

"Misalnya suami kamu bilang ingin bangun rumah, reaksi kamu bagaimana?" tanya Sahna.

Seperti biasa, di kantin selalu ramai. Hampir seluruh tempat duduk dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Sahna dan Augi sendiri berbagi tempat duduk dengan orang lain. Dua mahasiswi yang tidak dikenalnya. Maka, ketika berbincang dengan Augi suara Sahna mengecil.

"Ya, senang, dong, Sah!" jawab Augi. "Kenapa? Mas Saga mau bikin rumah?" tanya Augi antusias.

Sahna mengangguk pelan. Dia kembali berpikir apakah sikapnya kepada Saga terlalu dingin? Sehingga, Saga marah kepadanya ataukah ada masalah lain?

"Duh, dia mau bikin rumah di mana? Beruntung banget kamu, Sah," tambah Augi.

Sahna menelan ludah. Dia sendiri tidak tahu letak kebahagiaannya di mana. Kenapa dia harus merasa bahagia atas impian orang lain. Dia senang-senang saja Saga membangun rumah, mencapai impiannya. Tapi, dia ingin Saga tidak menitikberatkan kebahagiaannya pada Sahna.

Namun, Saga justru berkata bahwa kebahagiaannya terpusat pada Sahna.

Ketika memikirkan hal itu, ponsel Sahna berdering. Telepon dari Saga.

"Ya, Mas?" jawab Sahna. "Di kampus? Oh iya, aku ke sana." Lalu, dia mematikan telepon.

"Mas Saga?"

Sahna mengangguk. "Au, aku tinggal dulu, ya. Mas Saga minta ketemu."

"Oh, iya. Hati-hati," kata Augi.

***

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang