BAB 4: Prioritas

1.7K 312 22
                                    


"Kamu satu kelompok dengan Halil?"

Augi memiringkan tubuhnya, melihat ke arah Sahna. Dia sedikit terkejut mendengar kalimat Sahna bahwa dia satu kelompok dengan Halil. Augi tahu, Sahna masih canggung di depan Halil. Tidak. Bukan hanya Sahna, Halil juga. Keduanya belum merelakan.

Sahna mengangkat bahu. "Begitulah. Seakan-akan, kami harus berhubungan terus menerus."

"Hatimu harus kuat, Na. Ingat, kamu sudah bersuami." Augi mengingatkan. "Tapi, bukan berarti kamu harus menghindari Halil terus. Kalian akan satu kelas untuk beberapa tahun lagi. Dan sekarang, kamu satu kelompok dengannya."

"Tapi, Na," kata Augi lagi. Dia menghentikan langkahnya, menghadap ke arah Sahna. "Kamu dan Halil enggak pernah pacaran, 'kan?" selidik Augi. "Lalu, kenapa hubungan kalian seperti ini?"

Sahna melihat ke arah Augi. Sahabatnya itu benar. Halil dan dia tidak pernah memiliki hubungan khusus. Bahkan, baik Halil atau dirinya tak pernah mengungkapkan perasaan masing-masing. Mereka hanya tahu, kalau masing-masing memiliki perasaan. Mereka saling jatuh cinta tanpa saling mengungkapkan.

"Sulit untuk dijelaskan, untuk orang realistis seperti kamu," sahut Sahna. Augi tertawa. "Di duniaku, enggak ada yang namanya hitam dan putih. Segalanya abu-abu." Sahna mendesah. "Bahkan, aku sendiri enggak tahu bagaimana mendefinisikan hidupku."

"Ckckck ..." sahut Augi. "Hidup kamu sudah enak, lho. Suamimu tampan, uang kuliah juga ditanggung, kurang apalagi? Cinta? Sabar, Na, nanti juga kamu akan jatuh cinta sama suamimu," celoteh Augi. "Kalaupun enggak, juga bukan masalah, 'kan?"

Sahna terdiam.

Untuk sebagian perempuan, yang paling utama adalah dicintai suaminya. Mereka berkata, dengan dicintai laki-laki atau suami, mereka akan baik-baik saja. Berbeda kasus apabila suami tidak mencintai, itu akan menjadi duri dalam rumah tangga.

Sayangnya, Sahna termasuk perempuan sebagian lainnya. Dia menginginkan rumah tangga yang penuh cinta. Mencintai dan dicintai. Dia serakah akan hal itu. Sahna berharap, kelak dia akan mencintai Saga, seperti seharusnya. Bukan seperti saat ini, dia hanya menikah karena perjodohan dan mengabdi pada Saga hanya karena keharusan.

Sahna mendesah. Dia melanjutkan perjalanannya. Augi berlari kecil untuk menyamai langkah Sahna. Mau dijelaskan seperti apa pun, tak ada yang mengerti bagaimana hati Sahna saat ini. Bahkan, Sahna sendiri tidak tahu, bagaimana perasaannya. Yang jelas, hati Sahna bukan untuk Saga.

Halil. Lelaki itu, masih menempati hatinya.

***

Pesan itu masuk pukul dua sore, ketika Sahna dan Augi di kantin menyantap makan siang mereka. Sahna sedang menyesap es teh manisnya, sedangkan Augi memotong-motong baksonya menjadi kecil-kecil kemudian melumurinya dengan saus, kecap, dan sambal.

Sahna meraih ponselnya, membaca isinya. Dari Halil. Jantungnya seketika berdetak tidak seperti biasanya, ketika nama Halil muncul di aplikasi perpesanannya. Setelah sekian lama, nama itu kembali muncul dalam aplikasi itu. Pesan Halil berada paling atas, seakan-akan pesan itu harus dibaca segera. Di bawahnya, terdapat pesan dari Saga yang dikirim dua jam lalu. Pesan yang belum dibuka oleh Sahna, apalagi dibalasnya.

Sungguh, Saga tidak salah apa-apa atas pernikahan yang dijalani Sahna. Dia seperti lelaki normal pada umumnya, ingin memiliki seorang istri, dan kebetulan Sahna yang dipilihnya. Kesalahan Saga hanya satu, dia tidak menyadari bahwa Sahna terpaksa mengiyakan lamarannya.

Selamat sore, Sah. Aku minta izin masukin kamu ke grup kelompok kita, ya.

Ini Halil.

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang