BAB 11: Hati yang Tersembunyi

1.2K 203 7
                                    


Saga terlihat lebih ceria hari ini. Dia mengenakan kaus berwarna abu-abu dengan celana jeans. Pakaian tersebut dikenakannya ke kantor. Tidak seperti biasanya, Saga terlihat lebih santai.

Ayana orang pertama yang menyadari perubahan Saga hari itu. Mungkin, sudah menjadi kebiasaan Ayana memperhatikan Saga, sehingga ada perubahan sedikit saja, Ayana cepat tahu. Bahkan, mungkin Sahna istri Saga sendiri tidak tahu apa-apa.

"Ada kabar baik, Pak?" sapa Ayana. Dia membawa secangkir kopi ke ruangan Saga dan laporan mengenai penjualan mereka. Ayana meletakkan cangkir kopi ke hadapan Saga.

"Terima kasih," balas Saga. "Memangnya kenapa?"

Ayana memiringkan kepalanya, kemudian tersenyum manis. "Hari ini terlihat lebih segar dan ceria," jawabnya.

"Masa?"

Ayana mengangguk.

"Ya, memang ada kabar baik," jawab Saga. "Terima kasih kopinya."

Ayana tersenyum. "Sama-sama, Pak." Setelah itu, dia keluar ruangan.

Ayana kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di luar ruang kerja Saga. Dia duduk di kursinya, kemudian bersandar. Pikirannya menerawang jauh. Banyak pertanyaan dalam benak Ayana pagi itu. Semestinya, dia sadar diri posisinya di sini sebagai apa dan siapa. Semestinya, Ayana tidak menyeberang terlalu jauh, sampai-sampai berani mencintai Saga.

Namun, Ayana merasa berhak atas diri Saga. Dia yang mencintai Saga, bukan Sahna.

Perasaan Ayana terhadap Saga lebih besar dan subur bagaikan ladang stroberi yang dipupuk secara rutin. Lalu, Sahna muncul sebagai istri Saga. Hati Ayana hancur, tetapi tidak dengan perasaan cintanya.

Ayana memiliki harapan ketika melihat Saga tidak lebih bahagia usai menikah. Dia menduga pernikahan Saga dan Sahna tidak bahagia. Namun, hari ini Saga terlihat berbeda. Meskipun sangat kecil, tapi Saga terlihat bahagia dan itu membuat Ayana cemas.

Perempuan itu mendesah. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak sanggup menghapus perasaannya terhadap Saga.

***

"Aku bingung."

Sahna menengadahkan kepalanya, melihat dedaunan di atas pohon. Lalu, dia berpaling ke arah Augi. Perempuan itu memberikan ekspresi sedih ke Augi.

"Gimana, dong, Au?" tambahnya. Beberapa menit lalu, Sahna bercerita pada Augi kalau minggu ini akan keluar dengan Halil. Tentu, dia tidak keluar berdua saja, tetapi bersama teman kelompok lainnya. Masalahnya, dia tidak tahu bagaimana izin ke Saga.

"Kan, tinggal bilang, Sah," sahut Augi. "Sama suami sendiri takut?"

"Bukan begitu, hanya saja," Sahna tidak melanjutkan kalimatnya. Dia berpikir sejenak. Kenapa dia harus resah seperti ini? Apa dia merasa bersalah karena satu kelompok dengan Halil? Tapi, memangnya kenapa? Dia dan Halil tidak ada hubungan apa-apa dan lagi, Saga tidak tahu apa-apa mengenai Halil.

"Hanya saja, kenapa?"

"Sejak menikah, aku belum pernah keluar rumah untuk main," jawab Sahna.

"Tapi, kamu, kan, kerja kelompok, Sah. Bukan main."

Sahna mendesah. Augi benar, dia hanya terlalu khawatir mengenai banyak hal. Dia hanya pergi kerja kelompok, bukan main.

Augi melingkarkan tangannya ke punggung Sahna. "Jangan terlalu dipikirkan begitu. Tinggal minta izin Mas Saga, dia pasti ngizinin."

"Kenapa seyakin itu?"

"Nggak mungkin nggak, Sah. Percaya, deh."

Sahna mengangguk. Lalu, ponselnya berbunyi. Sahna segera mengambil ponselnya dari tas. Ada dua pesan masuk. Pertama pesan itu dari Saga.

Lagi, jam istirahat, ya? Mau makan apa?

Sahna segera membalas pesan tersebut.

Iya, Mas. Barusan makan sama Augi. Nasi campur.

Lalu, Sahna memeriksa pesan kedua. Pesan itu di grup kelompoknya. Halil yang mengirim pesan.

Gais, kita cari topik di perpustakaan sekarang? Bisa? Aku tunggu di lobi perpus.

Setelah membaca pesan itu, Sahna memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Au, aku mau ke perpus. Mau ikut?"

"Ngapain?"

"Nyari topik sama anak-anak."

"Nggak, deh."

"Oke, deh."

***

Gedung perpustakaan kampus tidak jauh dari gedung fakultas Sahna. Perempuan itu berjalan kaki seorang diri. Sesekali, dia menyapa teman kampusnya yang ditemuinya. Sahna tersenyum, mengangguk, melambaikan tangan dan menjelaskan singkat ke mana dia akan pergi siang itu.

Hari ini mata kuliah ada lagi jam tiga sore, sehingga kelompok Sahna memutuskan mencari materi siang ini. Hal ini dilakukan agar ketika mereka kumpul di hari Minggu tidak membuang-buang waktu mencari materi lagi.

Sahna berjalan sambil melihat ke arah ponselnya. Di grup perpesanan itu, beberapa teman kelompoknya membalas pesan Halil. Sahna sendiri memilih membiarkan pesan Halil, toh dia sudah berjalan kaki ke perpustakaan.

Sesekali, Sahna memejamkan mata. Dia menikmati semilir angin yang terasa sejuk dan matahari yang menyengat kulitnya. Dulu, Sahna sering berjalan kaki di trotoar seperti ini. Dia masih ingat dengan siapa dia melakukan hal itu. Mengobrol membicarakan banyak hal sambil berjalan kaki dan menikmati gugur daun. Ya, tentu saja yang ada dalam benak Sahna adalah Halil.

Seseorang yang pernah berharga dalam hidupnya dan mungkin sekarang dia masih merasakan hal yang sama.

Sesampainya di depan gedung perpustakaan, Sahna menyeberang jalan, lalu masuk ke selasar gedung. Dari situ, Sahna berjalan lurus ke arah pintu masuk. Begitu sampai pintu masuk, Sahna mengedarkan pandangan, mencari-cari teman sekelompoknya.

"Mana yang lain?" tanya seseorang dari belakang Sahna. Sahna sedikit terkejut ketika mendengar suara itu, hal yang semestinya tidak perlu.

Sahna mengangkat bahunya, sebagai jawaban pertanyaan Halil.

"Memang susah buat mengatur banyak kepala," ujar Halil sambil melewati Sahna. Dia berjalan ke arah sofa memanjang di sisi ruangan, kemudian duduk di sana.

Sahna hanya melihat apa yang dikerjakan Halil. Lelaki itu menekuri sesuatu di laptopnya yang sejak tadi terbuka di atas sofa. Dia mengerjakan itu sambil mengisi daya laptop di stop kontak yang disediakan kampus.

"Duduk dulu, Sah," tukas Halil. "Sofanya masih kosong, kok, duduk jauh-jauh masih bisa." Halil mengatakan itu dengan santai. Namun, Sahna menelan ludah. Halil tahu, kalau Sahna menjaga jarak dengannya. Makanya, dia bicara seperti itu.

Sahna tidak menanggapi kalimat Halil. Dia duduk di sofa dan seperti kata Halil, Sahna duduk di pojok sofa, jauh dari Halil. Rasanya aneh, dulu dia begitu akrab dengan Halil hingga bisa bercerita banyak hal. Kini, mereka seperti orang asing yang tak pernah memiliki sejarah apa pun. Terkadang, Sahna merasa sedih. Dia berharap hubungannya dengan Halil membaik, sebagai teman. Namun, Sahna justru menjaga jarak.

Bukan. Sahna bukan menjaga jarak, tetapi dia menjaga hatinya. Sahna menekankan pada diri sendiri bahwa dia tidak boleh melewati batas. Dia sudah memiliki Saga dan Sahna harus fokus dengan hubungannya dengan Saga.

Halil merogoh sesuatu dari tas ranselnya, kemudian dia melihat ke arah Sahna. "Sah," panggilnya.

Sahna menoleh, "Ya?"

"Mau cokelat?" tanya Halil. Mata Sahna beralih ke arah cokelat berbentuk memanjang di tangan Halil. Cokelat itu tidak besar, panjangnya sekitar sepuluh sentimeter. "Tadi beli sesuatu gratis cokelat."

Sahna tidak langsung menjawab. Dia memikirkan banyak hal. Apa perlu Sahna menerima cokelat itu? Apa tidak masalah? Apakah ini bentuk perselingkuhan?

"Cuma cokelat gratisan, Sah. Jangan terlalu berat memikirkan. Nggak ada maksud apa-apa, kok."

Setelah mendengar kalimat Halil, Sahna mengangguk. Dia mengulurkan tangannya, begitu juga dengan Halil.

"Terima kasih."

***

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang