Rumah yang dihuni oleh Saga adalah rumah yang dibelinya begitu usaha biro desainnya mengalami peningkatan. Tahun itu, Saga mendapatkan banyak proyek dan membuatnya kelelahan karena harus pulang pergi dari rumah orang tuanya dan ke kantor. Seringnya, Saga menginap di kantor, di sofa keras yang dibelinya secara second.
Orang tua Saga menyarankan untuk membeli rumah saja, rumah yang dekat dengan kantor. Mereka tidak mengizinkan Saga berutang untuk membeli rumah atau kredit. Orang tuanya berkata nanti uang Saga habis untuk melunasi utang-utang itu. Maka, dengan tabungan yang dimilikinya, Saga membeli rumah yang dihuninya bersama Sahna saat ini.
Tentu, Saga memiliki rumah impian. Sejak awal, dia ingin memiliki rumah dengan desainnya sendiri, sesuai keinginannya sendiri. Bukan rumah yang dia beli karena kebutuhan. Saga sudah menyiapkan desain rumah itu dan di mana dia akan membangunnya.
Namun, setelah menikah, Saga memiliki impian tambahan. Dia ingin memasukkan unsur Sahna dalam desain itu. Bukan tanpa alasan kenapa Saga ingin Sahna melihat desain itu, memberikannya masukkan untuk rumah mereka.
Saga ingin, Sahna menjadi rumahnya.
Di meja makan itu, ada dua piring camilan yang dibuat oleh Sahna. Nangka goreng dan tape goreng. Lalu, ada dua cangkir kopi hitam yang masih mengepul. Cangkir berwarna kuning di antara tangan Sahna dan cangkir berwarna merah di jemari Saga.
Di luar hujan turun secara sederhana, tanpa ada angin yang menggebu, apalagi petir yang penuh emosi. Hujan itu turun apa adanya, membawa udara dingin dan ketenangan. Tidak jauh dari rumah mereka, ada sekumpulan anak-anak yang bermain hujan, suara mereka meramaikan sore itu.
Di antara kedua orang itu terdapat kertas berisikan denah rumah yang dibuat oleh Saga. Sahna melihatnya dengan teliti. Dia bukan ingin memeriksa hasil pekerjaan Saga. Dia hanya ingin melihat dengan serius, Sahna ingin menghargai impian Saga dan hasil kerjanya. Dia ingin berkomentar mengenai yang dilihatnya sekarang ini.
Desain yang dibuat oleh Saga terdiri dari dua lantai, tiga kamar tidur di lantai pertama, dan dua kamar tidur di lantai atas. Ada satu kamar mandi di lantai bawah, satu di lantai atas, dan dua di kamar tidur utama. Dapur, tempat mencuci baju, ada di lantai bawah, dan tempat menjemur di atas. Lalu, rumah itu dilengkapi dengan taman belakang, depan, dan samping. Di lantai atas ada ruangan kosong, yang Sahna tidak tahu untuk apa. Carport muat dua mobil dan ada kolam ikan kecil di area teras depan.
Sahna juga diberikan bentuk eksterior dari rumah itu. Terlihat modern dan minimalis.
"Bagaimana?" tanya Saga, tidak sabar. Dia meminum kopinya, lalu mengambil satu tape goreng dan memakannya. Sambil melakukan aktivitas itu, Saga melihat ke arah Sahna penuh perhatian. Dia suka melihat istrinya itu menatap desainnya dengan serius dan penuh perhatian.
Sahna menghidu kopinya, lalu menyecapnya. "Ruang kosong ini, untuk apa?" tanya Sahna. Dia menunjuk ruang kosong tanpa keterangan di lantai atas.
"Kita bisa pakai untuk ruang kerja," sahut Saga. "Kamu nggak usah ngerjain tugas di ruang tamu lagi. Bisa di ruangan itu, nanti aku kasih meja dan kursi. Kamu bisa memilih desainnya."
Sahna tersenyum. Dia mengangguk. Pipinya memerah karena merasa senang dilibatkan dalam kehidupan Saga. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya.
"Kenapa?" tanya Saga. "Nggak suka?"
"Suka," balas Sahna. "Rencananya, mau bikin di mana?" tanya Sahna dengan antusias. Dia mengambil tape goreng dan menggigitnya.
"Besok mau lihat lokasinya?"
Sahna mengangguk.
***
Saga memilih lahan di daerah perumahan tidak jauh dari kantornya. Lebih tepatnya, lahan itu berada sekitar dua puluh menit perjalanan ke kantornya dan tiga puluh menit perjalanan ke kampus Sahna.
Apabila keluar dari kawasan perumahan, mereka sudah menjumpai minimarket, lalu tidak jauh dari pasar raya. Mengetahui hal itu, Sahna tersenyum senang. Dia sudah membayangkan bisa berbelanja ke pasar langsung alih-alih ke tukang sayur. Dia bisa mendapatkan bahan makanan yang lebih segar dan murah. Dengan begitu, Sahna juga bisa mengexplore banyak menu baru.
Belum apa-apa, Sahna sudah bahagia.
Saga menghentikan mobilnya di depan lahan kosong. Lahan itu berada di ujung gang. Pantas saja, Saga membuat desain dengan tiga teras di rumahnya kelak. Lahan yang dipilih Saga sangat cocok dengan desain itu.
"Mas Saga membuat desain karena melihat lokasi ini?" tanya Sahna.
Saga memegang tangan Sahna, mengajak perempuan itu ke lahan kosong itu. Di sana banyak rerumputan hijau dan batu kerikil. Di depan lahan terdapat pohon mangga yang terlihat baru ditanam beberapa bulan saja.
Menanggapi pertanyaan Sahna, dia menggeleng. "Aku mencari lokasi ini, menyesuaikan dengan desain. Lalu, ada perubahan sedikit saja."
Sahna mengangguk. Dia mengerti. Mereka berhenti di tengah lahan, melihat ke sekeliling. Tidak jauh dari tempat mereka terdapat taman kompleks yang terawat. Lalu, ada toko kelontong yang cukup besar.
"Bagaimana?" tanya Saga. Dia mengelilingi Sahna sambil tersenyum. Rambut Sahna tertiup angin perlahan, lalu Saga merapikan rambut istrinya itu. "Kamu suka?"
Sahna mengangguk. "Aku suka karena dekat pasar dan toko kelontong," ucapnya. "Aku lihat tadi juga ada mini market. Lalu, di jalan-jalan banyak yang jualan makanan."
Saga tertawa. "Kamu memikirkan soal perut, ya."
Sahna tersenyum, dia memiringkan kepalanya. "Iya," jawabnya. "Kan, ada keluarga yang harus aku masakin. Biar sehat dan kenyang."
Saga mengangguk dengan cepat. "Kamu sudah mulai mengajukan judul skripsi?"
Sahna mengangguk. Tidak menyangka masa kuliahnya segera berakhir. Semester depan, dia sudah mulai memikirkan skripsi. Namun, sampai detik ini, Sahna belum tahu harus membahas mengenai apa.
"Bakalan sibuk sekali, tuh," komentar Saga. "Cari makan, yuk."
Sahna mengangguk. Mereka berjalan melewati bebatuan dan rerumputan, kemudian menghampiri mobil.
Begitu sampai di mobil, Sahna dan Saga memakai sabuk pengaman. Lalu, Sahna bertanya, "Rencana pembangunannya kapan, Mas?"
"Rencananya, mulai tahun depan."
"Tinggal empat bulan lagi," komentar Sahna.
Saga mengangguk. Dia sudah mulai memilih bahan-bahan untuk pembangunan dan menjadwal pekerja untuk membantu membangun rumahnya. Sama halnya dengan Sahna, Saga tidak sabar menuju proses itu. Dia ingin menikmati masa indahnya bersama Sahna.
Saga merasa hubungannya dengan Sahna semakin baik dan perempuan itu tetap akan bersamanya sampai kapan pun. Meskipun, Sahna belum pernah mengatakan mencintai Saga, dia akan bersabar untuk itu.
Asal Sahna tetap bertahan di sisinya, itu sudah lebih dari cukup. Yang penting, Sahna tidak pergi. Dia di sini, bersamanya, membersamainya dan memberikannya hal yang diinginkan Saga.
"Mau makan apa?"
Sahna berpikir sejenak, lalu berkata, "Soto saja."
Saga mengangguk, kemudian mencari soto daerah sana. Dia ingin memperkenalkan Sahna dengan daerah itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Sahna
General FictionPernikahan itu tidak pernah diinginkan oleh Sahna. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Sahna masih ingin kuliah dan bekerja untuk dirinya sendiri. Tapi, Sahna tidak bisa menolak keinginan kedua orang tua angkatnya. Mereka begitu baik padanya, mere...