BAB 35: Cinta Itu Setia

885 154 13
                                    


Sahna hanya mengenal satu bentuk cinta yaitu dengan kesetiaan. Kesetiaan itulah yang dilihat dari kedua orang tuanya dan dari paman dan bibinya. Dia tumbuh di keluarga yang harmonis. Ketika kecil, Sahna sangat jarang melihat kedua orang tuanya bertengkar. Entah memang begitu atau orang tuanya menyembunyikan fakta itu dari Sahna.

Hanya saja, didikan orang tuanya itu membuat Sahna mempercayai bahwa bentuk cinta adalah kesetiaan.

Bukan tanpa alasan kenapa Sahna begitu menjaga dirinya dari Halil. Secinta apa pun perasaannya pada Halil, ketika dia memutuskan menikah dengan Saga, maka prioritasnya berubah. Sahna tahu, dia belum mencintai Saga, tapi dia yakin suatu saat perasaan itu akan ada. Dia hanya membutuhkan waktu. Maka, dia setia dengan Saga meskipun dengan cara memaksakan diri.

Baginya, itulah satu-satunya cara untuk setia dengan Saga. Meskipun, Sahna belum mencintai suaminya itu. Paling tidak, dia tidak akan mengkhianati Saga dengan merespon Halil. Hal itu sangat sulit dilakukan, sebab Halil orang yang paling mengerti Sahna.

Kini, ketika Halil bercerita mengenai Saga, Sahna dilanda kebingungan. Sahna tahu, Halil tidak akan berbohong kepadanya. Tapi, pandangan Halil itu yang membuat Sahna bingung. Dia bercerita seakan-akan Saga berselingkuh, seakan-akan suaminya itu berdua bersama perempuan dalam waktu yang lama.

Halil hanya melihatnya sekali, maka Sahna menyimpulkan ini kesalahpahaman.

Sahna tidak membahas mengenai ini dengan Saga dan itulah kesalahan pertamanya.

Siang itu, setelah percakapan dengan Halil. Sahna semakin menjaga jarak. Sedikit yang dia tahu. Sedikit yang dia dengar, maka lebih baik. Dia tidak akan mencoba mencari tahu mengenai hal yang dibicarakan oleh Halil. Kalaupun itu benar, dia menganggap itu konsekuensi yang Sahna dapatkan karena selama ini telah membuat Saga menderita.

Setelah ini, Sahna tidak akan membuat Saga sengsara lagi. Dia akan melayani suaminya itu seperti seharusnya.

Saga mengirim pesan pada Sahna, ketika perempuan itu berjalan di koridor kampus bersama Augi. Lelaki itu mengirim sebuah foto tangan kanan Saga yang sudah bebas dari perban.

Sudah boleh dilepas, cukup kontrol saja

Begitu pesan yang menyertai foto tersebut.

Syukurlah, Mas :)

Sahna sibuk mengirim balasan kepada Saga, sampai-sampai dia tidak sadar Halil sudah di depannya. Perempuan itu menghentikan langkah. Lalu, melihat ke arah Halil dengan tatapan tidak suka.

"Ada apa?" tanya Sahna.

"Halil kebiasan banget tiba-tiba muncul," sahut Augi.

"Kamu tahu, kan, aku nggak bakalan tinggal diam kalau kamu disakitin," ucap Halil.

"Eh, ada apa ini?" tanya Augi. Kedua alisnya saling bertaut. "Sahna disakitin siapa? Apa apa, sih?"

"Aku disakiti atau nggak, itu nggak ada urusan sama kamu, Lil," ucap Sahna tajam, namun dengan nada tenang. "Boleh kami lewat?"

Halil mundur, membuka jalan untuk Sahna.

"Yuk, Au," ajak Sahna.

"Apa ada, sih?" tanya Augi masih penasaran.

"Nggak ada apa-apa, kok. Lapar, nih. Yuk."

***

Pukul tiga sore, Sahna sudah di rumah. Dia sudah mengabari Saga mengenai hal itu. Sore itu, dia sibuk menyiapkan makan malam, sehingga ketika Saga pulang tinggal dihangatkan saja.

Sahna membuat kari ayam. Dia meracik bumbu sendiri, sebab dia lupa membeli bumbu jadi. Dia berharap rasanya akan tetap sama atau minimal bisa dimakan. Ketika Sahna memblender rempah-rempah racikannya, sebuah pesan masuk. Dia segera mencuci tangan, mengeringkan tangan dengan lap dan mengecek ponsel.

Aku perjalanan pulang

Itu pesan dari Saga.

Hati-hati

Begitu Sahna membalasnya. Lalu, dia kembali ke bumbu masakannya. Dia segera menyalakan tungku, memasukan minyak. Satu jam berlalu dan suara mobil berhenti di depan rumahnya.

Masakan Sahna belum selesai. Nyatanya, Saga pulang lebih cepat. Sahna tinggal membiarkan ayam itu sampai empuk dengan api kecil.

Sahna segera ke ruang tamu, membuka pintu. Dia melihat Saga keluar dari mobil. Sahna melihat siapa yang menyetir, dia adalah Ayana.

"Selamat sore, Bu Sahna," sapa Ayana dari dalam mobil. Dia tersenyum dan melambaikan tangan.

"Selamat sore," sahut Sahna. Dia berjalan mendekat. Lebih tepatnya, berdiri di sisi Saga. Lalu, dia mengaitkan tangannya ke lengan kiri Saga. "Terima kasih, ya, sudah diantar," ucap Sahna masih dengan wajah penuh senyum. "Mau mampir dulu buat makan?"

"Terima kasih, Bu, tapi saya buru-buru."

Sahna mengangguk. "Hati-hati."

Begitu mobil yang dikendarai Ayana menjauh, Sahna melepaskan tangannya.

"Ayamnya sudah matang?" tanya Saga. Dia tersenyum sambil menyentuh rambut Sahna. Kini, tangan Saga terlihat baik-baik saja. Dia sudah tidak memakai perlindungan.

"Belum," jawab Sahna. Dia menelan ludah. Hatinya terasa berat sekali. Dia memikirkan cerita Halil. Namun, Sahna membuang pikiran itu. "Mobil Ayana baru, ya?"

"Itu mobil kantor," jawab Saga.

"Oh," lalu dia berbalik. Namun, Saga memegang lengannya.

"Ada apa?" tanya Saga. Dia memperhatikan wajah Sahna.

"Nggak apa-apa," jawab Sahna. Dia kembali berjalan mendahului Saga. Dia mendengar langkah kaki Saga di belakangnya. "Di kantor nggak ada pegawai lain yang bisa mengantar?" tanya Sahna begitu mereka ada di ruang tamu. Lalu, dia kembali berjalan ke arah dapur.

"Ada," jawab Saga. "Tapi, mereka sedang sibuk. Kebetulan Ayana ..."

"Sekalian saja minta dia antar jemput," sahut Sahna memotong kalimat Saga. Dia berbalik dan menuju tungku, kemudian mematikan api dengan kasar.

"Iya, dia ..." kalimat Saga tertahan. Dia baru memahami situasi. Wajah Sahna cemberut dengan dagu tertekuk. Lalu, dia melihat istrinya itu berjalan ke arah kamar dengan cepat.

"Sah ..." panggil Saga. Dia mengejar Sahna, menyentuh lengannya. "Kamu marah?" tanyanya.

Sahna mendesah. Dadanya sudah naik turun. "Mas Saga sadar nggak, sih, kalau Mas Saga sudah menikah? Dan Ayana itu perempuan?"

Saga menyentuh wajah Sahna, lalu dia tersenyum.

"Mas pikir aku bercanda?" tanya Sahna dengan gusar. Dia berbalik, meninggalkan Saga.

Saga kembali mengejar. Kini, mereka berada di kamar. "Sah, maaf. Nggak begitu," katanya.

Sahna mengambil bak pakaian bersih yang belum disetrika. Dia membawa bak tersebut keluar kamar, tanpa mempedulikan Saga. Lelaki itu terus mengikuti Sahna.

"Sah, maaf," kata Saga. Dia mengikuti istrinya yang sedang merajuk itu. Namun, Sahna masih membisu.

Sahna menuju meja setrika dan meletakkan bak berisi baju di kursi. Dia mulai mengambil setrika dan menancapkannya ke daya listrik.

"Sah ..." panggil Saga lagi. Kali ini, dia mendekati Sahna. Mendekatkan kepalanya ke wajah perempuan itu. "Maaf. Nggak lagi."

Sahna masih diam, tidak peduli dengan wajah Saga yang begitu dekat dengannya. Dia menelan ludah, memperhatikan setrika yang tidak salah apa-apa itu dengan tajam.

Saga memeluk Sahna dari belakang, lalu membisikkan kata maaf di telinga Sahna. "Maaf. Nggak lagi. Maaf."

Lalu, Saga mencium leher Sahna. Sahna menghindar dan mencabut daya listrik setrikanya. Dia berjalan lagi ke arah kamar dan menutup pintunya.

Saga berhenti di depan pintu. Dia membiarkan Sahna meredakan amarahnya dulu. Memberikan waktu pada istrinya itu untuk mengatur emosinya. Maka, dia memilih menjauh terlebih dahulu.

Di lain pihak, Sahna menahan dirinya untuk tidak bertanya mengenai pertemuan Saga dengan Ayana di indekos yang diceritakan Halil. Sebab, jika dia bertanya mengenai itu, maka nama Halil akan disebut olehnya. Sahna tahu, pertengkaran akan lebih hebat apabila Sahna menyebut nama lelaki itu di depan Saga.

***

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang