Prolog

3.6K 231 5
                                    



Sahna Fitria membetulkan letak seprai yang miring, menatanya hingga terlihat rapi. Lalu, dia mengambil sapu ijuk khusus untuk membersihkan kasur. Sahna membersihkan ranjangnya, kemudian menata bantal-bantal di atasnya. Setelah bersih, dia menyemprotkan wewangian khusus. Dia menghidu pelan, kemudian tersenyum puas.

Sejak kecil, Sahna dididik dengan ketat. Mengenai kebersihan, sopan santun, tutur kata, bahkan cara tersenyum. Sahna tahu betul bagaimana bersikap di hadapan orang yang lebih tua, menghormati teman sebayanya dan tidak memikirkan diri sendiri.

Sahna kecil sudah dididik menjadi anak penurut. Dia tidak bisa membantah kedua paman dan bibinya, yang membesarkan Sahna. Kedua orang tua Sahna sudah meninggal sejak Sahna berusia tiga tahun akibat kecelakaan pesawat. Sahna yang yatim piatu dirawat oleh pamannya, adik ayahnya.

Satu-satunya yang bisa Sahna lakukan untuk balas budi ke kedua orang tua angkatnya adalah dengan menuruti perkataan mereka. Sampai suatu ketika, Sahna dijodohkan dengan laki-laki yang tak dikenalnya ketika berusia 21 tahun.

Namanya Sagara Tarendra.

Saat itu, Sahna baru pulang kuliah. Dia berkuliah di salah satu universitas di Surabaya, semester enam, jurusan administrasi. Dua semester lagi, Sahna akan lulus kuliah. Dia sudah merencanakan akan bekerja dan membantu adik-adiknya melanjutkan kuliah, sebagai balas budi kepada kedua orang tua angkatnya. Tapi, cita-cita itu seakan jauh ketika Sahna mengetahui maksud kedatang Pak Budi dan Bu Rumeta, orang tua Sagara.

"Nduk, ini, loh, ada Pakde Budi dan Bukde Rumeta," kata Indah, istri Paman Sam. "Kamu kenal, toh? Dulu mereka sering datang ke sini, main-main sama kamu."

Sahna mengingat kembali memori mengenai Pakde Budi dan Bude Rumeta. Seingat Sahna, dia memang mengenal wajah kedua tamu yang datang sore itu. Tapi, dia tidak mengenal laki-laki yang duduk tak jauh darinya.

"Sini, duduk dulu, Nduk," pinta Paman Sam. Sahna menyalami semua orang yang ada di ruang tamu itu, termasuk laki-laki asing itu. "Ini Sagara Tarendra, anak Pakde Budi dan Bude Rumeta. Kamu masih ingat dia?" Paman Sam berbicara setelah Sahna duduk.

Sahna menggeleng. Dia sama sekali tidak mengingat laki-laki jangkung di depannya.

"Mungkin sudah lupa, Mbakyu. Sudah lama," sahut Bude Rumeta. "Mereka juga baru bertemu sekali, 'kan?" dia menoleh kepada Sagara. "Kalau tidak salah ingat, waktu kamu baru lima belas tahun, ya, Le?" tambahnya.

Ditanya demikian oleh ibunya, Sagara tersenyum dan berkata, "Nggih, Bu."

"Nah, Nduk, Pakde dan Bukde ke sini, punya maksud baik. Mereka ingin ambil kamu sebagai anak menantu," jelas Bulek Indah.

Ketika semua orang di ruangan itu tersenyum dengan mata berbinar-binar, Sahna dan Saga saling bersitatap. Ekspresi Sagara tak dapat diartikan oleh Sahna, tetapi pada wajah Sahna terlihat jelas, dia tidak menyukai perjodohan ini.

Namun, Sahna tak bisa menolak, dia menerima Sagara sebagai suaminya.

***

Kini, Saga sudah resmi menjadi suaminya. Tapi, Sahna belum benar-benar bisa menerima lelaki itu menjadi bagian dari hidupnya.

Sahna menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya. Sudah terhitung satu bulan pernikahannya, Sahna masih merasakan debaran kekhawatiran dalam dadanya. Suaminya, Saga masih mandi. Sahna menunggunya di kamar sembari membaca buku mata kuliahnya untuk besok. Terdengar Saga membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka. Tangan Sahna terhenti ketika ingin membalikan halaman buku. Dia menggigit bibir bawahnya, kemudian mendesah.

Sahna berbalik, satu, dua, tiga, lalu dia tersenyum kepada Saga. "Sudah selesai mandinya, Mas?" tanyanya, seperti sudah terprogram. Tentu saja Saga sudah selesai mandi. Lelaki itu keluar mengenakan kaus dan celana panjang, rambutnya basah dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tapi, Sahna selalu bertanya demikian ketika Saga selesai mandi.

Saga mengangguk pelan, kemudian dia meletakkan handuknya di atas ranjang. Sahna tersenyum, kemudian beranjak dari kursi dan menghampiri handuk itu. Diambilnya handuk tersebut, lalu dia berbalik. Tapi, sebelum dia sempat pergi untuk meletakkan handuk itu ke tempatnya, tangan Sahna dicekal oleh Saga. Dia terkejut.

"Kapan kau mau kusentuh?" tanya Saga. Tatapannya menghujam Sahna. Di dalam mata Saga, dia teramat menginginkan Sahna, menyentuh istrinya secara keseluruhan.

Sahna tergagap. "Aku belum bisa, Mas." Saga melepaskan cekalannya. Sahna membeku. Setiap kali Saga menginginkan hubungan suami istri, Sahna selalu menolak. Dia tak sanggup. Dia tak bisa. Bahkan, mereka sama sekali belum berciuman.

"Mas laki-laki biasa, Na."

Sahna menundukkan kepalanya, tak sanggup melihat Saga. "Ngapunten, Mas. Sahna belum bisa."

Lagi-lagi, malam itu, Saga menahan keinginannya untuk menyentuh Sahna. Malam-malam pernikahannya, semakin hari, semakin berat untuknya.

***

Maaf, saya lupa kalau novel ini ada prolog :D Saya unggah sekarang nggak apa-apa, ya. Hehe.

Jodoh Untuk SahnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang