Lelaki yang mendatangi Ayana adalah kakak tirinya. Ibunya menikah lagi dengan seorang duda beranak satu. Anak dari ayah tiri Ayana bernama Yovan. Usianya tiga tahun di atas Ayana. Lelaki itu bekerja sebagai buruh pabrik, akan tetapi dia diberhentikan karena temperamen sangat buruk. Yovan berkelahi di pabrik karena kesalahan sepele temannya. Ditambah lagi, Yovan masih dalam hangover karena minum.
Alih-alih hidup tenang dengan memiliki ayah baru, Ayana semakin sengsara. Tanpa sepengetahuan Ayana dan ayah tirinya, ibunya sering dimintai uang oleh Yovan. Hal itu diketahui Ayana tiga tahun belakangan. Apabila tidak dikasih, Yovan mengancam akan memukul Ayana. Itulah sebabnya, ibu Ayana tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika mengetahui itu, Ayana membantu ibunya. Sudah jelas, Ayana melawan Yovan dan akan mengadukannya ke ayah tirinya. Akan tetapi, Ayana justru ditampar oleh Yovan.
Hal itu berlangsung lama, sampai akhirnya ayah tiri Ayana meninggal.
Ayana pikir, ketika ayah tirinya meninggal maka selesai sudah urusan Ayana dan Yovan. Ternyata, dia salah. Lelaki itu masih sering mendatangi Ayana dan ibunya. Orang yang mengetahui hal ini hanya Saga. Lelaki itu sudah meminta Ayana untuk melaporkan Yovan ke polisi, tetapi perempuan itu menolak.
Sebagai solusi, Ayana pindah tempat. Dia indekos dan merahasiakan keberadaannya. Ibunya hidup seorang diri di rumah, setiap kali Yovan datang, ibunya tutup mulut dan tidak mengatakan di mana Ayana.
Kini, alih-alih mengenai uang, Yovan lebih terobsesi pada perempuan itu. Sampai akhirnya, Ayana dilukai malam itu.
Kedua mata Ayana terbuka, ketika menyadari kehadiran Prita dan Saga. Perempuan itu meneteskan air mata, ketika melihat Saga. Saga mendesah dan tidak sampai hati melihat kondisi Ayana.
Bibir Ayana bengkak dengan warna merah bercampur ungu. Pipi dan matanya tidak jauh berbeda, bahkan beberapa memar terlihat di tangan. Saga tidak tahu di mana lagi memar itu berada. Yang jelas, saat ini dia merasa bersalah pada Ayana. Tidak, bukan perasaan bersalah, melainkan sedih melihat bawahannya seperti ini.
"Astaga, Ayana ..." pekik Prita. Perempuan itu mendekati Ayana, duduk di kursi yang ada di sisi ranjang. "Kenapa begini? Kenapa nggak pernah cerita?" tambahnya. "Ada apa?"
Ayana memaksakan senyum. Dia menggeleng. "Nggak apa-apa," lirihnya. Dia berusaha untuk menutupi hal itu dari Prita. Perempuan itu terlalu malu untuk bicara yang sebenarnya pada rekan kerjanya. Baginya, Saga adalah satu-satunya orang tempatnya bercerita.
Saga berkata, "Prita, aku mau bicara berdua dengan Ayana. Bisa keluar sebentar? Sepuluh menit saja."
Prita melihat ke arah Saga, kemudian beringsut meninggalkan ruangan. Saat itu, ibu Ayana pun sudah di luar. Begitu Prita keluar ruangan, Saga duduk di kursi yang diduduki oleh Prita.
"Pak Saga ... saya ..." belum sempat Ayana bicara, perempuan itu menangis. Dia tidak tahu, kenapa perasaannya semakin pilu ketika melihat Saga. Dia merasa terlindungi sekaligus sakit hati. Dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika kejadian berlangsung. Hal itu terjadi begitu saja.
"Ayana ...." panggil Saga. "Kamu sudah lapor polisi?" tanya Saga. "Kamu tahu, kan, ini bukan kejadian biasa? Aku mau bicara denganmu, lalu aku ingin bicara dengan ibumu."
Ayana menggeleng. "Saya takut, Pak."
"Takut kenapa?"
"Saya malu," jawab Ayana.
"Lalu, apa yang kamu harapkan? Kamu tahu, nggak ada yang bisa menolongmu, kalau kamu sendiri nggak mau ditolong?"
Ayana diam. Dia menelan ludah.
"Akan aku bantu proses, tetapi dengan satu syarat," ucap Saga. Ayana diam. Dia mendengarkan Saga. "Aku harus cerita masalah ini pada istriku. Sahna."
***
Saga berjanji pada Ayana bahwa yang akan tahu mengenai masalahnya hanya Sahna. Dia tidak bisa menyembunyikan fakta ini pada istrinya terus menerus. Lelaki itu tidak ingin hubungannya dengan Sahna memburuk.
Bagi Saga untuk mendapatkan hati Sahna sudah sulit. Dia tidak mau melukai istrinya lagi. Dia takut, istrinya itu akan membencinya.
Setelah berbicara dengan Ayana, Saga berbicara dengan ibu Ayana. Mereka setuju untuk menempuh jalur hukum dan Ayana segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melaporkan kakak tirinya.
"Semestinya, ibu tidak menikah lagi," cerita ibu Ayana. "Tapi, ibu kasihan melihat Ayana yang bekerja seorang diri." Perempuan berusia lima puluh tahun itu mendesah. "Ibu yang salah. Seharusnya, sejak dulu ..."
Perempuan itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Saga mengangguk, kemudian berkata, "Saya akan bantu, Bu. Sesuai dengan kemampuan saya. Tidak lebih."
"Iya, Nak. Terima kasih," sahut ibu Ayana.
Saga mengangguk.
"Nak Saga sudah menikah?"
Saga tersenyum. "Sudah, Bu." Ketika ditanya begitu, dia baru ingat belum memberikan kabar pada Sahna. Maka, dia pamit pada ibu Ayana dan memanggil Prita.
Saga dan Prita pulang dari rumah sakit ketika langit sudah meredup. Di tempat parkir, Saga mengecek ponselnya, dan menemukan beberapa panggilan telepon serta pesan dari Sahna.
Saga mendesah dan menyesal, sebab dia terlalu larut dengan masalah Ayana, sampai-sampai dia lupa untuk menjemput Sahna pulang kuliah. Lelaki itu segera menghubungi nomor ponsel Sahna. Namun, perempuan itu tidak menjawab teleponnya.
Lelaki itu memeriksa pesan, membaca pesan-pesan dari Sahna.
Mas, bagaimana keadaan Ayana? Apa yang terjadi?
Mas, di mana?
Mas, aku sudah selesai kuliah. Bisa jemput?
Mas Saga, Sahna sudah pulang. Diantar Augi. Sampai ketemu di rumah.
Saga menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Dia melihat Prita berjalan ke arahnya.
"Kenapa Pak Saga?" tanya Prita.
Saga menggeleng. "Yuk, aku antar ke kantor."
Prita menggeleng. "Nggak perlu, Pak. Saya naik ojek saja. Nanti muter jauh."
"Nggak apa-apa?"
"Iya, nggak apa-apa. Sepertinya, Pak Saga juga buru-buru."
Saga menarik sudut-sudut bibirnya. Dia berpamitan pada Prita, masuk mobil, lalu menjalankan mobilnya. Dia ingin segera sampai rumah, menceritakan apa yang sudah terjadi dengan Ayana. Dengan begini, Saga bisa membantu Ayana tanpa perasaan bersalah. Sebab, Sahna pasti memahami posisinya dan bagaimana keadaan Ayana.
Tiga puluh menit kemudian, Saga sudah sampai rumah. Dia masuk, lalu melihat Sahna berada di dapur. Perempuan itu sedang menyiapkannya makan malam.
"Mas Saga ...." lirih Sahna begitu melihat Saga.
Saga melepaskan jaketnya, kemudian melemparkannya ke atas sofa. Tiba-tiba saja, Saga ingin memeluk istrinya itu. Lelaki itu tidak tahu apa alasannya. Mungkin, dia merasa bersalah karena mengabaikan panggilan telepon Sahna. Dia berjalan lebih cepat ke arah Sahna. Begitu di dekat perempuan itu, Saga meraih kepala Sahna dan mencium istrinya itu.
Sahna terkejut, tetapi dia tidak menolak. Lalu, Sahna melepaskan diri. "Maaf, Sahna goreng tempe."
Saga tersenyum. Sahna membalikkan tubuh, kemudian mematikan kompor. Begitu kompor itu mati, dia berbalik ke arah Saga.
"Sudah?" tanya Saga.
Sahna mengangguk, tersenyum. "Sudah."
Maka, Saga kembali mencium Sahna untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Untuk Sahna
General FictionPernikahan itu tidak pernah diinginkan oleh Sahna. Dia masih terlalu muda untuk menikah. Sahna masih ingin kuliah dan bekerja untuk dirinya sendiri. Tapi, Sahna tidak bisa menolak keinginan kedua orang tua angkatnya. Mereka begitu baik padanya, mere...