10. DALAM PELUKAN BUNDA

2.1K 187 8
                                    

Mata Bu Inayah dan Pak Rahman terbelalak lebar setelah melihat hasil tes DNA yang dikeluarkan rumah sakit. Meskipun mereka sudah menyangka bahwa Renma memanglah anak kandung mereka, tapi secarik kertas hasil tes DNA itu menambah keyakinan mereka bahwa Renma memanglah darah daging mereka.

"Kamu lihat, Renma!" Bu Inayah memperlihatkan kertas hasil tes DNA, tepat di depan mata Renma. "Kamu memang anak Bunda. Kamu itu Husein!"

Dalam hati, Renma berteriak senang. Tak menyangka jika dia adalah bagian dari sebuah keluarga yang harmonis. Namun di satu sisi, ia juga tak ingin menjadi aib keluarga dengan kelakuan badungnya selama ini.

"Apa ... apa Bunda boleh memeluk kamu, Nak?" Bu Inayah merentangkan kedua tangannya.

Renma meneguk ludah. Ingin sekali ia menjatuhkan diri ke pelukan Bundanya. Tapi ia ragu, takut jika ia terlalu nyaman dan akhirnya menyakiti sang Bunda karena ia merasa dirinya hanyalah aib yang harus ditutupi rapat-rapat.

"Kenapa kamu diam aja, Bang?" tanya Ana yang sukses membuat hati Renma terenyuh dipanggil dengan sebutan Abang.

"Ayo, Nak! Peluk Bunda!" Bu Inayah masih merentangkan tangannya lebar-lebar. Matanya mulai berkaca-kaca.

Tak perlu berpikir panjang lagi, Renma langsung memeluk Bundanya erat-erat. Dalam pelukan itu, Renma merasa nyaman dan hangat. Tanpa sadar, ia menitihkan air mata. Setelah puas berpelukan dengan sang Bunda, ia beralih memeluk Pak Rahman, Hasan, Ana, Ibarah, lalu Layala. Hari itu menjadi hari yang penuh suka cita bagi Renma.

Untuk menyambut kedatangan Renma, Bu Inayah sengaja memesan nasi tumpeng, bermacam-macam buah, dan kue tart. Dia mempersilakan semua orang makan sewajarnya karena haram hukumnya bila makan terlalu kenyang.

"Oh iya, Bun. Tadi ada satu teman pengin ikut belajar ke Bunda. Boleh nggak?" tanya Hasan.

"Boleh. Bunda malah seneng bisa membagi ilmu ke orang lain selain anak-anak Bunda," jawab Bu Inayah senang.

"Tapi anak itu agak sombong, Bun. Apa Bunda yakin?" kata Ana.

"Huuus! Nggak boleh menilai orang lain buruk, Nak," tegur Bu Inayah.

"Emang kenyataannya gitu, Bun. Dia tuh sok pintar banget. Mentang-mentang IQ-nya lebih tinggi beberapa angka dari kita."

"Itu mah bukan sok pintar. Tapi emang pintar," celetuk Pak Rahman terkekeh puas.

"Iiih Ayah!" tegur Ana merajuk manja. Membuat seluruh anggota keluarga menertawakannya.

Bu Inayah menyikut lengan Renma. "Tuh! Orang lain aja pengin les di Bunda. Apa kamu nggak pengin ikut juga?"

"Boleh deh." Renma mengangguk.

Meskipun belajar adalah salah satu hal yang Renma benci, tapi entah mengapa ia merasa tak mengapa melakukan aktivitas yang tak ia sukai asalkan bersama sang Bunda. Tak bosan rasanya Renma memandangi wajah Bundanya setiap saat.

Tak terasa hari sudah malam. Bel pintu rumah berbunyi, tepat jam setengah tujuh malam, di mana seluruh anggota keluarga Pak Rahman masih sibuk murojaah hafalan Al-Qur'an sambil menunggu waktu Isya' datang. Bik Tina segera membukakan pintu untuk tamu yang datang.

"Assalamu'alaikum. Saya teman Hasan dan Ana. Apa Hasan sama Ana ada?" tanya Dinda.

"Waalaikum salam. Silakan masuk!" Bik Tina mempersilakan Dinda duduk di ruang tamu. "Mas Hasan sama Mbak Ana lagi hafalan Al-Qur'an."

"Mereka hafidz Qur'an?" Dinda terpental kaget, tak menyangka jika si kembar juga menghafalkan Al-Qur'an'di luar aktivitas sekolah yang begitu padat.

"Iya. Mereka sudah hafal tiga puluh juz."

Tangan Dinda mengepal marah. Merasa kesal karena pengetahuan yang ia miliki ternyata masih tak ada apa-apanya bila dibandingkan si kembar yang sudah hafal Al-Qur'an 30 juz dengan sempurna. Kalau boleh jujur, ia mendadak merasa terkalahkan.

"Kamu temannya si kembar, ya?" sapa Bu Inayah yang sudah selesai melaksanakan sholat Isya' bersama keluarga.

"Assalamualaikum, Tante." Dinda mengangguk sopan, meraih tangan Bu Inayah, lalu mencium punggung tangannya.

Tak lama duduk bersama Bu Inayah, si kembar datang. Bukan hanya Hasan dan Ana. Tapi juga Renma. Seketika mulut Dinda menganga tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana mungkin remaja nakal yang pernah menjadi tetangganya bisa berada di rumah Hasan, murid jenius dari sekolahnya?

"Renma?" sapa Dinda kaget.

"Dinda? Ke ... kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Renma keheranan.

"Harusnya gue yang nanya itu ke elo. Kenapa lo bisa ada di rumah Hasan dan Ana?"

"Gue saudara mereka tahu!"

"Ha?" Dinda terlonjak kaget. "Jadi ... kalian bertiga saudara kembar?"

Bu Inayah terkekeh, melihat reaksi Dinda. "Iya. Mereka bertiga kembar. Tapi Renma cukup lama terpisah dengan kami."

"Pantas saja wajah Hasan dan Ana mirip banget sama Renma," ujar Dinda pelan.

Saat pelajaran di mulai, diam-diam Dinda melirik ke arah Renma, mengamati dengan detail penampilan remaja itu yang masih terlihat seperti anak geng. Rambutnya masih gondrong dengan sebagian diikat ke belakang. Lehernya masih dihiasi kalung rantai tipis. Pergelangan tangan kanannya masih dihiasi beberapa gelang karet. Sementara kedua telinganya masih disematkan dua giwang hitam seperti anak punk pinggir jalan. Melihat hal itu, Dinda bergidik.

"Gue nggak nyangka kalau dia saudara kembar Hasan dan Ana. Akhlaknya bagai langit dan selokan," batin Dinda.

"Oooh jadi nilai x nya dua ya, Bun?" tanya Hasan.

"Iya. Betul." Bu Inayah mengangguk membenarkan.

"Waaah ternyata caranya cukup sederhana ya?" Ana mengangguk paham.

"Renma, apa kamu sudah berhasil menyelesaikan soal yang Bunda kasih?" Bu Inayah melongok, melihat buku tulis Renma.

Sengaja Bu Inayah memberi soal-soal yang mudah setara anak SMP. Karena Bu Inayah bisa menebak pasti sebelumnya Renma kurang memperhatikan pelajaran, baik di sekolah maupun di tempat kursus. Kabar yang Bu Inayah dengar, Renma sangat sering membolos, terutama di pelajaran Matematika.

"Pasti salah semua," cibir Dinda pelan.

Kesal dengan cibiran Dinda, Renma langsung melemparkan bukunya, tepat di depan Dinda. "Coba cek! Salah nggak jawaban gue?"

Dinda meneguk ludah setelah memeriksa jawaban Renma yang semuanya benar. Ia tak menyangka jika raja bolos saat SD bisa mengerjakan soal-soal anak SMP.

"Oh iya. Lupa nanya. Kalian sudah saling kenal?" tanya Bu Inayah. "Sejak kapan?"

"Iya, Bun. Dia pernah jadi tetanggaku pas kecil dulu," jawab Renma menurunkan volume suaranya. Untuk menyahuti wanita yang melahirkannya, sebisa mungkin ia menggunakan suara lembut.

"Ternyata benar kata orang. Dunia tak selebar daun kelor. Aku nggak nyangka kalau Dinda pernah jadi tetangga Abangku yang telah lama hilang," kata Ana seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

😊😊😊😊😊

Jangan lupa love, comment, subscribe, dan follow akun zaimnovelis agar penulis semangat mengetik

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang