52. LANGKAH MENUJU MAUT

189 13 0
                                    

Sudah tujuh tahun Bu Inayah menjadi ibu rumah tangga sejak ia mengandung Layala. Sebelumnya, ia sibuk mengurus perusahaan bersama sang suami. Kini Layala baru saja menginjak usia 7 tahun. Bocah itu sekarang bersekolah di Albayan Islamic Elementary School bersama Ibrah. Di mana ia harus pulang pukul 14:00 WIB setiap hari Senin sampai Jum'at.

Ya! Sejak Layala masuk SD, Bu Inayah merasa kesepian. Tidak ada rutinitas yang berarti. Semua pekerjaan rumah sudah ditangani pembantu. Mengantar anak-anak ke sekolah juga sudah ditangani sopir. Beberapa hari lalu Bu Inayah sempat membantu pekerjaan sang suami, membuatnya berpikir untuk kembali bekerja, mengingat ia bosan sendirian di dalam rumah saja.

"Mas ...." Bu Inayah duduk di tepi ranjang, tepat di samping suaminya yang sibuk membaca laporan di layar laptop.

"Hm?" sahut Pak Rahman, menoleh ke arah sang istri.

"Kapan kamu ngebolehin aku kerja fulltime di kantor?"

"Besok."

"Beneran?" Kedua alis Bu Inayah terangkat kaget. Teramat heran mengapa suaminya dengan mudah memberikan izin.

"Iya. Tapi kamu hanya boleh kerja sampai jam dua siang. Aku nggak mau Layala dan Ibrah kurang kasih sayang seorang ibu."

"Iya, Mas. Terima kasih ya, karena ngebolehin aku kerja di kantor."

Senyuman Pak Rahman mengempis. "Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih ke kamu."

000

Hari ini adalah hari pertama Bu Inayah bekerja di kantor. Karena dia pernah bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara sebagai dosen Matematika, ia sengaja ditempatkan Pak Rahman dalam divisi akunting yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam suatu perusahaan karena selalu berkaitan dengan keuangan.

Tujuh tahun lalu, perusahaan konveksi milik Pak Rahman tak sebesar sekarang. Saat itu, ia hanya memiliki puluhan pegawai. Sementara sistem keuangan ditangani sang istri. Namun sangat jauh berbeda dengan tujuh tahun lalu, sistem keuangan perusahaan kini berubah semakin kompleks. Mengingat perluasan distribusi dan target marketing yang semakin bekembang pesat. Maka dari itu, Pak Rahman ingin mengajari sang istri bagian terpenting tersebut.

"Semoga aku masih punya keterampilan mengolah data," kata Bu Inayah.

"Aku menempatkanmu di divisi akunting karena aku mempunyai tujuan tertentu, istriku," batin Pak Rahman.

"Selamat bekerja ya, istriku." Pak Rahman mengelus singkat bahu istrinya.

"Iya, Mas." Senyuman Bu Inayah mengembang, membuat Pak Rahman tertegun beberapa saat. Untuk yang kesekian kalinya ia terpesona dengan senyuman itu.

Pak Rahman menunduk sedih, lalu melangkah lesu menuju ruang kerjanya setelah berpamitan pada sang istri. Ia terduduk di belakang meja, termenung sebentar seraya mengingat betapa cantiknya sang istri yang entah sampai kapan bisa ia lihat.

"Hamba ingin terus bersamanya, Ya Allah," pinta Pak Rahman dengan menitihkan air mata.

Dengan tangan gemetar, Pak Rahman membuka laci meja, meraih botol plastik yang berisi puluhan butir pil pereda nyeri, mengeluarkan beberapa, lalu menelannya bersama segelas air putih. Ya! Saat ini Pak Rahman sedang tidak baik-baik saja. Beberapa bulan lalu, ia divonis mengidap kanker getah bening. Dokter bilang, perkembangan kanker tersebut sangat cepat. Kalaupun dilakukan operasi, tidak akan bisa membersihkan sel-sel kanker yang sudah terlanjur menyebar. Selain itu, tindakan operasi juga dinilai sangat berbahaya, mengingat sel-sel kanker sudah menjamah bagian vital, salah sedikit saja, Pak Rahman bisa mati di meja operasi. Dokter juga mengatakan, Pak Rahman hanya mampu bertahan kurang dari empat bulan lagi dengan rutin menjalani kemoterapi. Tanpa kemoterapi, Pak Rahman hanya akan mempu bertahan dua bulan saja.

"Hamba ingin hidup ya Allah. Hamba ingin hidup lebih lama lagi bersama istri dan kelima anak-anak hamba, ya Allah. Tolong izinkan hamba hidup lebih lama." Tangis Pak Rahman semakin membuncah.

Sejak perusahaannya sudah besar, Pak Rahman tak membolehkan sang istri bekerja di kantor dengan alasan istrinya harus fokus merawat Ibrah dan Layala yang masih kecil. Namun sekarang, terpaksa Pak Rahman harus mengajari istrinya mengelola perusahaan yang sudah tumbuh besar dengan sejumlah perluasan yang signifikan. Tak mungkin Pak Rahman mengajari ketiga anak tertuanya yang masih duduk di bangku SMA. Cepat atau lambat, Pak Rahman akan segera menemui ajalnya. Maka dari itu, cepat atau lambat pula sang istri akan menggantikannya sebagai kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarga.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat Pak Rahman terkesiap. Mungkin orang yang ia tunggu-tunggu sudah datang. Ya! Siapa lagi kalau bukan Pak Amil selaku pengacara perusahaan? Pak Rahman berniat menulis surat wasiat dan membagi harta yang ia miliki sesuai kaidah agama.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu itu berulang. Pak Rahman segera mengusap air matanya, lalu mempersilakan Pak Amil untuk masuk ke ruangannya. Pak Amil pun membuka pintu, lalu menyapa Pak Rahman dengan senyuman. Mereka pun duduk di sofa untuk membahas pembagian harta warisan sesuai kaidah agama Islam.

Walaupun tahu betul jika istri dan anak-anaknya tidak mungkin memperebutkan harta warisan, tapi Pak Rahman hanya tidak ingin terjadi suatu permasalahan setelah ia meninggal dunia nanti. Itulah sebabnya Pak Rahman membagi harta yang ia miliki sesuai ilmu Faroidl setelah beberapa hari lalu menemui ahli agama. Kini ia hanya perlu mengurusnya secara hukum.

"Jadi anda memiliki satu anak lagi?" Pak Amil cukup kaget saat mendengar penjelasan Pak Rahman yang mengatakan kalau ia memiliki lima orang anak. Seingat Pak Amil, Pak Rahman hanya memiliki empat orang anak saja.

"Ya." Pak Rahman mengangguk. "Tujuh belas tahun yang lalu, salah satu anak saya hilang entah ke mana. Kini saya sudah menemukan anak itu. Saya hanya ingin dia mendapatkan hak yang sama sesuai hukum agama."

"Baiklah. Saya mengerti." Pak Amil mengangguk paham.

"Pak Amil, untuk masalah pembagian harta warisan ini, tolong rahasiakan dari semua orang."

"Iya, Pak. Saya akan merahasiakannya."

Setelah Pak Amil pergi, kini Pak Rahman harus bergegas menuju ke rumah sakit untuk menjalani sejumlah pemeriksaan dan kemoterapi. Walaupun kemoterapi hanya bisa mengulur waktu dua bulan, tapi waktu tersebut akan menjadi waktu yang paling berharga sebelum ia benar-benar pergi ke Rahmatullah.

"Mas Rahman mau ke mana? Kok kelihatan buru-buru?" Bu Inayah bertanya-tanya saat tak sengaja melihat sang suami dari kaca jendela. Sang suami tampak terburu-buru memasuki mobil yang terparkir, lalu melesat menuju keramaian kota Jakarta.

Bu Inayah mengedikkan bahu, mencoba berbaik sangka pada sang suami walaupun tak bisa dipungkiri bahwa sempat terbesit sebuah firasat buruk di benaknya. Dan benar! Saat ia ingin mengambil segelas air minum yang ditawarkan bawahannya, tiba-tiba gelas yang ia raih terjatuh ke atas lantai, pecah dan mengagetkan semua orang.

"Astaghfirullahal Adzim," pekik Bu Inayah kaget.

"Ya Allah, firasat apa ini?" Bu Inayah bertanya-tanya dalam hati.  

🏵🏵🏵🏵🏵

Instagram = zaimatul.hurriyyah

Jangan lupa love, comment, subscribe, dan follow akun zaimnovelis agar penulis semakin semangat mengetik.

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang