9. GADIS CANTIK TAPI SOMBONG

1.9K 186 1
                                    


Tak terasa sudah tiga hari Renma tinggal di rumah Pak Rahman. Seharian ia hanya menemani Bu Inayah merawat bunga di halaman karena entah mengapa ia selalu ingin berada di dekat Bu Inayah seperti anak ayam yang selalu mengekor induknya.

"Renma," panggil Bu Inayah.

"Hm?" Renma menoleh, berhenti menggali tanah.

"Kalau ternyata kamu itu Husein anak Bunda, apa kamu mau tinggal di sini bersama kami?" tanya Bu Inayah.

Tentu Renma ingin menjawab iya. Tapi di satu sisi, ia masih merasa sangat canggung tinggal di keluarga Pak Rahman. Walaupun terasa hangat, tapi tetap tidak bisa dipungkiri jika ia sangat kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan disiplin di keluarga tersebut.

"Memang benar sih, gue cukup nyaman tinggal di sini. Apalagi semua orang di sini baik-baik. Nggak ada yang memperlakukan gue seperti sampah. Tapi kalau boleh jujur, gue masih canggung. Apalagi gue nggak habis pikir dengan kedisiplinan di keluarga ini yang harus selalu bangun Subuh," batin Renma ragu.

Bu Inayah meraih tangan Renma yang kotor. "Hm? Kamu mau kan?" pintanya penuh harap.

Renma kembali tercenung. Ini bukan hanya masalah kebiasaan yang sulit ia sesuaikan. Tapi juga masalah kepribadiannya yang terkenal badung, ketua geng yang gemar membuat masalah. Tak hanya bolos, Renma juga gemar tawuran, merokok, balapan liar, dan sesekali mabuk untuk menghilangkan stress. Jika dia tinggal bersama keluarga yang sangat agamis, ia takut menjadi noda di baju putih.

"Nama gue udah tercemar kemana-mana. Semua orang tahu kalau gue ini cuma pembuat onar yang nggak berguna. Udah nggak pinter, tukang tawuran pula. Kalau gue tinggal di sini ... gue takut jadi aib keluarga," pikir Renma.

"Hm? Kamu mau, ya?" ulang Bu Inayah yang semakin memegang erat tangan Renma.

Renma melepaskan tangannya dari genggaman Bu Inayah. "Tapi ... Ibu tahu sendiri kalau saya bukan anak baik-baik. Saya pasti jadi aib keluarga."

"Semua orang mempunyai kesempatan untuk berubah, Renma."

"Iya juga sih." Renma menunduk.

"Hari ini, Ayah pergi ke rumah sakit untuk mengambil tes DNA. Kami akan membuktikkan ke kamu kalau kamu memang benar-benar anak kami yang hilang enam belas tahun lalu."

Sementara itu, Hasan terus belajar dengan rajin di sekolah dengan tujuan untuk menjadi perwakilan dalam olimpiade Matematika. Begitu pula Ana. Gadis manis itu juga asyik belajar Fisika, mata pelajaran kesukaannya.

Dinda Aulia Hanum, salah seorang gadis di kelas diam-diam memperhatikan gerak-gerik anak kembar itu dengan mata menyipit. Menelaah dengan cermat wajah Hasan yang ia anggap terlalu mirip dengan Renma, seorang remaja nakal yang pernah menjadi tetangganya dulu.

"Hm ... kalau dilihat dari segi mana pun, Hasan memang sangat mirip dengan Renma, tetanggaku. Tapi sifat mereka benar-benar bertolak belakang. Renma tukang pembuat onar. Sementara Hasan sangat lembut, sangat pintar, sangat sopan, agamis pula!" pikir Dinda keheranan.

Bel sekolah berdering, membuat Dinda terkesiap. Tak lama, Bu Ninda memasuki kelas, mengucap salam, lalu serentak semua siswa menyahut salam yang beliau ucapkan. Beliau pun mulai menjelaskan materi pembelajaran.

"Siapa yang bisa menjawab soal ini?" tanya Bu Ninda setelah menuliskan sebuah soal yang ia nilai sangat sulit karena ingin menguji para siswa terbaiknya untuk diajukan sebagai perwakilan lomba Matematika bulan depan.

Hasan, Ana, dan Dinda mengangkat tangan bebarengan. Membuat Dinda cukup kesal karena sebelumnya, ia mendapatkan semua kesempatan dari guru. Tapi setelah Hasan dan Ana pindah ke sekolahnya, perhatian guru mulai terbagi kepada mereka sedikit demi sedikit.

"Silakan Dinda!" Bu Ninda mempersilakan Dinda untuk maju ke depan.

Dinda tersenyum tipis sambil bersorak gembira dalam hati. Ia dengan penuh percaya diri maju ke depan kelas, mengambil spidol, lalu menulis jawaban sedetail mungkin. Kemudian ia mengangguk sopan pada Bu Ninda setelah selesai mengerjakannya, lalu kembali ke tempat duduknya.

"Siapa yang bisa membetulkan jawaban Dinda?" tanya Bu Ninda yang sukses membuat seluruh siswa di kelas terkaget-kaget. Pasalnya, Dinda adalah siswi paling pintar di sekolah. Nilai rata-ratanya nyaris sempurna. Tak dapat dipercaya jika Dinda salah dalam menjawab soal.

"Hmm ... berapa ya jawabannya?" Ana menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Merasa jawaban Dinda sudah benar.

"Saya, Bu." Hasan mengangkat tangan.

"Silakan, Hasan!" Bu Ninda mempersilakan Hasan untuk maju ke depan kelas.

Hasan mengangguk sopan pada Bu Ninda, mengambil spidol, lalu menghapus sebagian jawaban yang ditulis Dinda. Dengan cepat, dia memperbaiki persamaan yang salah. Setelah selesai menulis jawabannya, ia kembali ke tempat duduknya.

"Bagus sekali!" puji Bu Ninda. "Bagaimana kamu bisa menyelesaikan soal sesulit ini, Hasan?"

"Saya sering iseng mengerjakan soal-soal yang mirip itu, Bu," jawab Hasan.

"Iseng yang membagongkan," batin Dinda.

"Bagus!" Bu Ninda bertepuk tangan.

Seusai pelajaran, Dinda menghadang Hasan yang ingin pergi ke kantin bersama Ana. Dahi si kembar seketika berkerut heran mendapati tingkah aneh Dinda, gadis sombong yang tak mau bersosial dengan teman-teman sekelas, merasa paling pintar dan merasa semua orang hanyalah beban yang harus dijauhi.

"Ada perlu apa ya?" tanya Ana.

"Gue mau tahu siapa guru privat kalian," jawab Dinda yang berusaha menekan gengsinya. "Gue juga mau ikut belajar di guru kalian. Gue nggak peduli berapapun biayanya."

Hasan dan Ana spontan terkekeh mendengar dugaan Dinda yang mengira bahwa mereka pintar dari guru les. Sudah jelas itu salah besar! Sejak kecil, mereka dididik oleh kedua orang tuanya sendiri dalam pelajaran apa pun. Tak pernah sekalipun orang tua mereka mempercayakan pendidikan non formal pada guru les kecuali dalam ilmu bela diri seperti karate.

"Kok kalian ketawa sih?" tanya Dinda heran.

"Maaf. Kita nggak pernah punya guru les privat," jawab Ana setelah berhasil menyurutkan tawanya.

"Jangan bohong! Lalu kenapa kalian bisa sangat pintar? Kalian nggak mungkin belajar sendiri, kan? Gue lihat di data diri penerimaaan siswa baru, IQ kalian cuma seratus empat puluhan. Sementara IQ gue udah lebih dari seratus lima puluh."

"Bundaku yang mengajari. Beliau dulunya seorang dosen Matematika di salah satu Universitas Negeri di Surabaya," jelas Hasan. Ia hanya tidak ingin berlama-lama membuang waktu.

"Oooh jadi begitu rupanya. Kalau begitu, mulai besok malam, gue ikut belajar di rumah kalian," tuntut Dinda melipat tangan.

"Kalau kamu mau belajar bareng kita, nggak apa-apa. Tapi ... kita mau izin Bunda dulu apa boleh bawa teman," timpal Hasan.

Ana menyikut lengan Hasan, lalu berbisik kesal, "abang gimana sih! Kasihan Bunda dong! Nanti makin ribet. Anak Bunda kan udah lima, Bang!"

"Bunda pasti senang kalau ada orang yang mau menimba ilmu," timpal Hasan yang juga berbisik.

😊😊😊😊😊

Jangan lupa love, comment, subscribe, dan follow akun zaimnovelis agar penulis semangat mengetik

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang