39. BIDADARI PUCAT PART B

1K 107 10
                                    

Setelah selesai makan, Hasan berjalan menuju motornya, diikuti oleh Dinda. Namun belum sempat ia berada di samping motornya, ia teringat jika ia tidak membawa helm untuk Dinda. Tadi saat menuju restoran, mungkin mereka beruntung karena tidak ada polisi yang berjaga. Tapi bukankah demi keselamatan Dinda, harusnya Hasan menyiapkan sebuah helm?

"Kenapa berhenti?" tanya Dinda heran.

"Helm. Kamu belum punya helm," jawab Hasan.

"Iya. Gue nggak pernah punya helm karena gue sama sekali nggak pernah naik motor."

"Kamu tunggu di sini dulu ya! Aku mau beli helm dulu buat kamu."

Hasan bergegas menaiki motornya, menyalakan mesin, lalu pergi untuk mencari helm. Tak butuh waktu lama, ia kembali dengan helm berwarna hijau muda, warna kesukaan Sang Bunda.

"Ini helmnya." Hasan menyodorkan helm itu pada Dinda.

Dinda menerima helm itu, lalu berusaha memakainya. Namun saat ia mencoba mengaitkan tali pengikat atau Retention System, ia terlihat cukup kesulitan karena ia sama sekali tidak memiliki pengalaman naik motor ataupun mengenakan helm. Melihat hal itu, Hasan langsung membantu Dinda mengaitkan tali helm tersebut.

"Kenapa sih Hasan baik banget? Udah ganteng, sholeh, pintar, sopan santun, penghafal Al-Qur'an pula! Cewek mana sih yang nggak kelepek-kelepek sama dia?" batin Dinda, sorot matanya seolah sudah tersihir oleh ketampanan Hasan.

"Nah udah," kata Hasan setelah berhasil membantu Dinda mengaitkan tali pengikat.

Hasan segera menaiki motor, lalu menyalakan mesin. Dinda ragu-ragu duduk di kursi penumpang. Hasan menyuruhnya untuk berpegangan pada gagang belakang motor saja, mengingat mereka bukanlah mahrom.

Sesampainya di rumah, Hasan menjelaskan kondisi Dinda pada Ayah dan Bundanya. Bu Inayah tentu mengerti apa yang dirasakan Dinda. Tapi menurutnya, kabur dari rumah bukanlah solusi yang terbaik. Mengingat Renma juga pernah melakukan hal yang sama beberapa bulan lalu. Pasti setiap orang tua akan khawatir bukan main.

"Dinda, untuk sementara, kamu tidur sama Ana saja ya. Nanti Tante akan menghubungi kedua orang tua kamu. Tante nggak mau mereka khawatir," saran Bu Inayah.

"Saya takut mereka bakalan nyiksa aku lagi, Tante." Dinda kembali menangis ketakutan. Suaranya terdengar goyah.

Selama ini Dinda berusaha terlihat kuat dengan menjadi gadis sombong yang tak membutuhkan bantuan siapa pun. Tak hanya itu, ia juga berusaha tidak menangis menghadapi berbagai cobaan yang ia hadapi baik di rumah maupun di sekolah. Namun ketika ia mengenal keluarga Hasan, ia merasa bisa memperlihatkan sosok rapuh yang ada di dalam dirinya.

"Kamu tenang saja. Kamu ini tinggal di negara hukum. Jadi kalau mereka melakukan penganiayaan lagi ke kamu, kamu bisa bilang ke Om atau Tante. Kita akan membantu kamu untuk proses hukum," timpal Pak Rahman. "Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu menenangkan diri dulu. Kemudian kita akan bantu kamu bicara baik-baik sama kedua orang tua kamu."

"Iya, Om." Dinda mengangguk setuju dengan saran Pak Rahman.

Bu Inayah kemudian memanggil Ana yang saat itu sedang asyik mengajari kedua adiknya murojaah Al-Qur'an. Lalu menjelaskan pada Ana bahwa malam ini Dinda akan menginap. Ana pun mengantar Dinda ke kamarnya, mempersilakan Dinda untuk beristirahat.

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang