12. SAHABAT KOPLAK

1.7K 167 5
                                    

Hari ini, Renma sudah berada di tempat parkir SMA Mulia Bakti dengan penampilan barunya. Tanpa giwang, kalung rantai, dan gelang karet yang biasa ia pakai ke sekolah. Rambutnya pun sudah tidak bisa dikuncir lagi.

"Renma, tumben kamu kok datang pagi begini," kata Bu Indah selaku guru piket gerbang hari ini.

"Gimana nggak datang pagi? Tiap Subuh, Bunda selalu bangunin gue. Habis itu sholat, terus belajar ngaji sampai jam setengah enam. Setelah itu jogging sama Ayah dan saudara-saudara gue, lalu mandi, sarapan, berangkat. Hampir dua minggu hidup di rumah baru, gue jadi lumayan terbiasa," batin Renma.

"Renma! Diajak guru ngomong kok nggak jawab sih!" tegur Bu indah.

"Iseng aja mau berangkat pagi, Bu," timpal Renma asal.

Renma kemudian berjalan menuju kelasnya. Tempo hari, Hasan sudah menjelaskan kalau dia sempat menyamar menjadi Renma untuk memastikan seberapa mirip Renma dengan dirinya. Jadi, Hasan mengimbau agar Renma tidak kaget bila teman-temannya menanyakan sesuatu terkait hari di mana Hasan menyamar.

Renma memutar malas saat memasuki kelasnya yang masih kosong. Harusnya ia mampir dulu di minimarket untuk membeli rokok agar tidak sendirian di dalam kelas. Tapi ia ingat bahwa uang sakunya hanya 50 ribu rupiah yang sudah ia habiskan 20 ribu untuk membeli bensin. Sekarang sisa uang di sakunya cuma 30 ribu rupiah. Berbeda saat ia menjadi anak Tuan Richard dan Nyonya Liliana yang memberinya uang saku 10 juta per bulan dan kartu kredit dengan limit 50 juta per bulan.

"Masing-masing orang tua punya kelebihan masing-masing." Renma berjalan malas menuju bangkunya.

Sebenarnya Pak Rahman sangat mampu memberikan uang saku yang banyak untuk semua anak-anaknya. Tapi dia ingin mendidik anak-anaknya hidup sederhana, bekerja keras, dan rajin menabung.

"Eh Renma, tumben kamu datang ke sekolah pagi banget kayak gini," kata Karin yang baru saja memasuki kelas.

Dahi Renma menyipit ketika melihat penampilan Karin yang tak seperti biasanya. Kini gadis itu memakai rok panjang, menyentuh mata kaki.

"Lihat! Aku cantik, kan?" Karin memutar tubuhnya seraya merentangkan rok panjang yang ia pakai. "Aku udah mulai terbiasa pakek rok panjang yang kamu belikan."

"Gue beliin Karin rok?" Renma terpental kaget. "Aaah pasti Hasan yang beliin Karin."

"Eh omong-omong, kenapa kamu nggak masuk sekolah lama banget? Hampir dua minggu lho. Aku kangen banget sama kamu." Karin dengan lancang duduk di samping Renma.

"Duduk sendiri di tempat lo!" Renma mendorong kasar bahu Karin. "Risih gue!"

"Iiih kok kasar gitu? Jadi tambah cinta deh." Karin dengan terpaksa kembali ke tempat duduknya.

"Nih cewek pasti tipe masokis." Renma bergidik takut.

Tak terasa setengah jam berlalu. Satu per satu murid memasuki kelas dan duduk di bangku masing-masing, kecuali Vino dan Rion yang datang terlambat. Oleh karena itu, mereka harus hormat pada sang saka merah putih selama 15 menit. Tak lama menunggu, Bu Indah datang sambil mengucap salam. Kemudian ia mulai menjelaskan pelajaran.

"Bagaimana, anak-anak? Paham?" tanya Bu Indah. Namun sayangnya, tidak ada yang menyahut. Mungkin antara tidak paham dan tidak peduli.

"Hmm ... kalau Bunda yang ngajarin, gue jadi paham semua. Tapi kalau Bu Indah yang ngajarin, kok gue sama sekali nggak paham ya?" Renma menggaruk rambutnya yang tak terasa gatal.

"Renma! Apa kamu paham?" tanya Bu Indah.

Renma terkesiap. "Lumayan, Bu," jawabnya asal.

"Sekarang kamu maju ke depan, jawab semua soal-soal ini!"

"Kok saya sih, Bu?" protes Renma.

"Karena terakhir kali kamu jawab, semuanya benar! Dan soal-soal kali ini, anggap saja sebagai hukuman karena kamu sudah hampir dua minggu bolos sekolah."

Renma menghela napas, menahan amarahnya. "Pasti ini ulah si Hasan yang nyamar jadi gue. Terus dia seenaknya jawab soal-soal dari guru. Semoga saja dia nggak jawab soal dari guru lain."

"Kenapa kamu diam saja, Renma? Ayo maju ke depan! Jawab soal-soal ini!" perinta Bu Indah.

Renma dengan ragu maju ke depan kelas dan menjawab semua pertanyaan dari Bu Indah, membuat semua orang menganga tak percaya dengan kemampuan Renma dalam menjawab soal. Bagaimana tidak? Selama tinggal di rumah sang Bunda, Renma selalu ikut rutinitas saudara kembarnya belajar. Apalagi saat semua saudaranya pergi ke sekolah, Bundanya selalu membujuknya untuk belajar mengaji dan belajar Matematika.

Sebenarnya, Renma bukanlah anak yang bodoh. IQ yang ia miliki bahkan setara dengan Hasan dan Ana. Namun karena sudah terlalu lama tidak diasah, dia sempat kehilangan kecerdasannya.

"Wow! Ada yang menonjol tapi memang bakat," kata Bu Indah.

SMA Mulia Bakti adalah salah satu SMA pinggiran yang hanya menjadi pilihan terakhir dari siswa-siswa yang tidak diterima di SMA favorit. Para orang tua akan berpikir seribu kali untuk memasukkan anak-anaknya di sekolah tersebut karena para siswa di sana terkenal gemar tawuran. Akibatnya, menemukan siswa yang pandai di sekolah tersebut tentu menjadi hal yang langka.

"Hmm ... aku nggak tahu kalau Renma sebenarnya punya kemampuan Matematika. Gimana kalau aku kasih soal-soal olimpiade tingkat kota?" pikir Bu Indah.

"Renma, karena kamu bolos sekolah hampir dua minggu, maka untuk mengejar ketinggalan, kamu nanti harus ke ruang guru. Saya ada seratus soal buat kamu," kata Bu Indah yang sukses membuat Renma terpental kaget.

"Ha? Seratus soal? Bu Indah jangan bercanda!" protes Renma.

"Kalau kamu nggak mau mengerjakan, kamu tidak akan bisa naik ke kelas dua belas. Saya nggak peduli kalau orang tua kamu donatur di sekolah ini," ancam Bu Indah.

"Bu, jangan seratus soal dong! Diskon dikiiit aja. Sekarang kan jamannya diskon tujuh puluh plus tiga puluh," pinta Renma.

"Kamu pikir, sekolah ini mall?" Bu Indah mendelik marah.

"Ya elah, Bu. Pelit amat jadi orang!"

"Pokoknya saya nggak mau tahu. Nanti kamu harus datang ke ruang saya."

Vino dan Rion tiba-tiba datang memasuki kelas dengan napas terengah-engah setelah mendapatkan hukuman hormat pada sang saka merah putih selama 15 menit dan lari-lari lapangan 3 kali. Mata mereka melebar senang melihat Renma sudah kembali sekolah, mengingat Renma dua minggu ini tidak bisa dihubungi.

"Booosss!" pekik Rion yang berlarian untuk memeluk Renma.

Sebelum Rion berhasil memeluknya, Renma spontan menahan muka Rion agar menjauh. Ia sangat hafal bau ketiak Rion yang pasti belum mandi pagi bercampur keringat setelah lari-lari lapangan di bawah terik sinar matahari pagi.

"Ini bukan pesta reuni! Sebaiknya kalia bertiga cepat duduk dan dengarkan pelajaran saya!" perintah Bu Indah.

"Siap, Bu," timpal Renma, Vino, dan Rion serempak.

Ketiga remaja tersebut pun duduk di bangku masing-masing, lalu berkomunikasi dengan secarik kertas, sekadar menanyakan kabar satu sama lain. 

😊😊😊😊😊

Jangan lupa love, comment, subscribe, dan follow akun zaimnovelis agar penulis semakin semangat mengetik.

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang