47. ANAKKU, ANAKMU

282 20 0
                                    

"Bundaaa!" panggil Renma heboh ketika ia masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu atau mengucap salam. Ia tak sabar bertemu dengan Sang Bunda.

Bu Inayah yang tadinya sibuk membaca buku di ruang keluarga, spontan menaruh bukunya, lalu bergegas menemui putranya. Melihat Renma yang datang dengan keadaan sehat, Bu Inayah tentu merasa sangat bersyukur. Ia langsung memeluk erat putranya itu.

"Assalamualaikum, Bunda." Renma membalas pelukan Bundanya dengan pelukan yang tak kalah erat.

"Waalaikum salam." Air mata Bu Inayah tiba-tiba menetes, terlalu rindu dengan putranya walau baru satu hari terpisah. Sepanjang malam ia tak bisa tidur karena takut Renma tidak kembali ke rumahnya.

"Bunda pasti masih sakit. Sebaiknya kita bicara sambil duduk," saran Renma yang menuntun Sang Bunda berjalan menuju sofa.

"Kamu nggak kenapa-napa, kan? Hm?" Bu Inayah duduk di sofa, lalu mengelus lembut pipi Renma.

"Aku nggak kenapa-napa kok, Bunda." Renma menurunkan tangan Bu Inayah dari pipinya, lalu mencium tangan itu dengan lembut.

Bu Inayah terhenti ketika meneliti penampilan putranya yang datang dengan berseragam sekolah. "Kamu tadi pagi sekolah?"

Renma mengangguk. "Iya, Bun. Saat tahu aku bersekolah di Albayan Islamic International School, Mama sangat senang. Jadi dia menyuruh beberapa orang untuk mencarikan segala keperluan sekolahku."

"Jangan bilang kalau kamu mau tinggal bersama orang tua angkatmu!"

"Bunda ...." Renma kembali menciumi tangan Bundanya. "Aku sudah memutuskan buat tinggal di rumah Mama. Tapi aku janji akan setiap hari mengunjungi Bunda."

"Enggak." Bu Inayah menarik tangannya, membuat Renma tak bisa menciumi tangannya lagi. "Bunda nggak mau berbagi anak dengan orang lain! Sudah cukup enam belas tahun Bunda kehilangan kamu. Bunda nggak mau kehilangan kamu lagi!"

"Bunda nggak kehilangan aku," jelas Renma lembut. "Aku hanya akan tidur di tempat berbeda."

"Itu sama saja!"

"Bunda ...." Kata Renma memperlembut suaranya. "Aku nggak akan ke mana-mana. Aku janji akan ke sini setiap hari."

"Bunda nggak mau kayak gitu. Pokoknya kamu harus tinggal di sini. Kamu tenang saja! Bunda sama Ayah sudah memberikan laporan ke kepolisian dan sengaja mempercepat proses hak asuh. Bunda akan mengirimkan bukti-bukti ke pengadilan bahwa kamu memang anak Bunda."

Mulut Renma menganga saat mendengar penuturan Sang Bunda. "Bunda, jangan lakukan itu!"

"Kenapa? Kenapa Bunda nggak boleh memperjuangkan hak asuh anak kandung Bunda sendiri?"

"Asal Bunda tahu, Mamaku itu sangat kaya dan kenal berbagai orang-orang yang berpengaruh di Indonesia. Dia bisa menyuap hakim dan berbuat hal-hal kejam lainnya. Aku nggak mau Bunda kenapa-napa."

"Bunda nggak peduli! Yang penting, Bunda mendapatkan kamu!" Bu Inayah masih bersi kukuh.

"Bunda, dengarin aku!" Renma kembali meraih tangan Bundanya, lalu menatap Sang Bunda lekat-lekat. "Mamaku itu punya gangguan psikologis. Dia bisa bertindak di luar dugaan. Dia bisa melakukan hal-hal kejam. Aku yakin Mamaku nggak hanya mengidap bipolar. Tapi juga gangguan psikologis lainnya."

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang