48. CEMBURU

382 21 3
                                    

Karin terlihat berbincang-bincang dengan seorang remaja tampan bernama Reano, seorang ketua kelas dari kelas XII IPS A. Kabarnya, remaja bernama Reano itu sering memenangkan olimpiade Ekonomi dan mata pelajaran IPS lainnya. Mereka tampak tertawa bersama, entah membahas apa.

Renma terhenti di ujung koridor dengan tangan mengepal marah, mendadak di dadanya ada perasaan terusik. Tak suka, melihat Karin bercanda tawa dengan remaja laki-laki lain. Tanpa pikir panjang, ia langsung berjalan cepat menghampiri Karin, menarik tangan gadis itu agar berdiri tepat di sampingnya.

"Ada perlu apa lo bicara sama Karin?" tanya Renma, memasang wajah galak.

Reano meneguk ludah, mendadak nyalinya untuk mendekati Karin seketika menciut. "Enggak ada perlu apa-apa. Gue cuma mau ngajak Karin masuk jadi tim mading sekolah."

"Atas dasar apa lo ngajak dia jadi tim mading, hah? Dia ini nggak bisa menggambar, tulisannya juga jelek, terus dia juga nggak punya kreativitas. Jadi nggak ada alasan buat lo ngajak Karin jadi tim mading."

Mendengar apa yang dikatakan Renma tentang dirinya, tentu Karin tak terima. "Renma ih!"

"Kenapa protes?" Renma kali ini mendelik pada Karin. "Lo kan emang nggak bisa menggambar, tulisan lo juga lebih jelek dari tulisan gue. Apalagi lo nggak punya kreativitas."

Karin menunduk dengan bibir mengerucut, mengakui semua perkataan Renma memanglah benar. "Iya juga sih."

Renma mengangkat tangannya, lalu melihat jarum jam panjang di arlojinya nyaris menyentuh angka tujuh. Dia langsung menarik tangan Karin untuk ikut bersamanya memasuki kelas, meninggalkan Reano sendirian di koridor.

"Renma, kamu cemburu ya?" tebak Karin seraya memasang senyuman lebar-lebar.

"Ha?" Renma terpental kaget. "Gue cemburu?"

"Iya. Kamu tuh cemburu tahu! Kamu nggak ikhlas lihat gue dekat sama cowok lain. Iya, kan?"

Renma langsung mendorong-dorong kening Karin dengan jari telunjuknya. "Lo jangan halu deh!"

Karin menyingkirkan jari telunjuk Renma yang terus mendorong keningnya. Bibir mungilnya mengerucut sebal. Sementara Renma terhenti, terpana, entah mengapa Karin mendadak sangat imut di matanya. Ia pun berdehem untuk menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba membuatnya salah tingkah.

"Ish!" Renma mendorong pelan muka Karin, lalu segera duduk di tempat duduknya.

Saat pelajaran dimulai, Renma rupanya masih terusik, memikirkan cukup banyak remaja tampan dan pintar yang berusaha mendekati Karin. Tak bisa dipungkiri jika Karin memiliki kecantikan yang luar biasa. Tak hanya itu, gadis itu juga memiliki tubuh bak gitar Spanyol. Renma takut jika gadis itu jatuh cinta pada cowok lain, bisa saja gadis itu kehilangan kehormatan. Ah, Renma sungguh tak mau itu terjadi.

"Renma!" panggil Bu Lidia yang berhasil membuat Renma terkesiap.

"Iya, Bu?" sahut Renma.

"Kenapa kamu melamun?"

"Ma ... maaf, Bu."

"Sekarang jelasnya sekilas tentang materi yang saya ajarkan barusan!"

Renma menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal, benar-benar tak tahu materi apa yang dibahas Bu Lidia kali ini. Tentu saja Bu Lidia seketika murka dan langsung menghukum Renma untuk berdiri di depan pintu kelas. Namun sebelum Renma benar-benar keluar, ia sempat mendengar sebuah kalimat menyakitkan yang terlontar dari mulut gurunya.

"Huh! Udah nilainya pas-pasan KKM, bandel pula! Nggak seperti kedua kembarannya!" gumam Bu Lidia pelan, sukses menyayat perasaan Renma.

Sebelumnya, memang Renma sudah biasa tak disukai oleh para guru karena kelakuannya yang selalu membuat onar. Tapi rupanya kali ini terasa lebih menyakitkan karena dibanding-bandingkan dengan saudara kembarnya yang memang sudah dididik dengan sangat baik oleh Sang Bunda. 

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang