11. POTONG RAMBUT

1.8K 188 11
                                    

Hasan meletakkan kepalanya di pangkuan Bundanya. Ia meraih tangan Bundanya, lalu meletakkannya di atas rambutnya, pertanda ia ingin dielus. Bu Inayah tersenyum, lalu dengan lembut mengelus puncak kepala putranya.

"Ish! Udah gede masih manja ke Bunda," canda Bu Inayah.

"Habisnya tangan Bunda bisa bikin sakit kepalaku hilang," sahut Hasan.

"Kamu sakit kepala?"

"Iya." Hasan mengangguk. "Sudah dari tadi pagi, Bun."

Bu Inayah mulai memijat kepala putranya, berharap pijatannya bisa sedikit mengurangi sakit kepala yang dialami putranya. Bagi Bu Inayah, seringan apa pun rasa sakit yang dialami anak-anaknya, seolah ia ikut merasakan.

Hasan memejamkan kedua matanya, merasa nyaman dipijat oleh sang Bunda. Seketika rasa sakit di kepalanya berangsur menghilang. Lama kelamaan membuatnya tertidur pulas di pangkuan sang Bunda. Melihat hal itu, Renma yang baru saja pulang dari minimarket langsung terhenti. Sedikit banyak, ia merasa iri dengan kedekatan Hasan dengan Bundanya.

"Bun, belajaannya aku taruh di atas meja ya," kata Renma sambil menenteng sekeresek sembako.

"Iya, Nak," timpal Bu Inayah dengan seulas senyuman yang menenangkan.

Renma berjalan malas menuju kamarnya untuk merebahkan diri di atas kasur. Dilihatnya langit-langit kamar dengan tatapan kosong, merasakan ketenangan tanpa ada teriakan, cacian, makian, dan pertengkaran seperti di rumahnya yang lama. Ya! Suara bising yang memuakkan itu tak ada lagi. Yang ada hanya suara murrotal Al-Qur'an yang sengaja diperdengarkan sepanjang waktu.

"Nggak terasa kalau gue udah bolos sekolah dua minggu. Udah dari beberapa hari lalu Bunda beli seragam sekolah, buku paket, sama alat tulis buat gue. Tapi ... nggak tahu kenapa ... gue nggak mau pisah sama Bunda walau buat sekolah. Hmm ... tapi kalau gue nggak sekolah, pasti gue jadi tambah bego. Entar otak gue kalah sama Ibrah dan Layala. Gila! Gila! Gue nggak mau." Renma menggeleng kuat-kuat.

Renma beranjak keluar dari kamarnya untuk menemui sang Bunda yang kini asyik membaca buku di ruang keluarga. Hasan sudah pindah ke kamar untuk tidur, takut jika kaki Bundanya kesemutan gara-gara memangku kepalanya terlalu lama.

"Bunda, besok aku mau pergi ke sekolah," kata Renma.

"Waaah bagus itu! Senin besok mata pelajarannya apa aja?" tanya Bu Inayah. "Biar Bunda siapin materi pelajaran buat kamu pelajari nanti malam."

Renma mematung, tak ingat pelajaran apa yang ia pelajari di hari Senin. Pasalnya, selama ini ia sekolah hanya datang, main game, tidur, nongkrong, lalu pulang. Jarang sekali ia membawa buku yang tepat, tak peduli apa yang diajarkan. Yang penting, masuk sekolah untuk bertemu teman-temannya.

"Jadwal pelajaran? Ya elah. Gue mana tahu jadwal pelajaran. Yang gue tahu cuma tidur doang pas jam pelajaran," batin Renma. "Tunggu! Tunggu! Kalau diingat lagi, pelajaran hari Senin ada Bu Indah guru Matematika sama Pak Alif. Tapi Pak Alif ngajar apa ya?"

"Renma?" panggil Bu Inayah.

Renma terkesiap. "Matematika sama IPS, Bun," jawabnya asal.

"Ya sudah. Ambil buku paketmu, biar Bunda bisa siapkan materi pelajaran buat kamu."

Renma mengangguk patuh, lalu mengambil buku paketnya dari dalam kamar. Namun, ia tiba-tiba ia tercekat. Mengingat kembali masa lalunya saat tinggal di rumah Tuan Richard dan Nyonya Liliana. Renma kecil asyik belajar sendirian. Tapi ia tiba-tiba menjumpai soal-soal yang sulit untuk ia pecahkan. Ia pun berlarian ke Mama dan Papanya, meminta mereka membantu mengerjakan soal-soal tersebut. Tapi Mamanya sibuk menata tas branded di dalam lemari. Sementara Papanya sibuk menelepon beberapa kolega perusahaan. Hal itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Bahkan tak terhitung berapa kali mereka mengabaikan Renma. Sejak saat itu, Renma benci belajar. Ia mulai berbuat onar untuk menarik perhatian orang tuanya.

Lamunan Renma seketika buyar ketika mendengar panggilan Bundanya. Ia segera ke ruang keluarga sambil membawa buku paket. Kemudian, Bu Inayah menuntun Renma membaca doa sebelum belajar dan mulai menebali bacaan di buku paket Renma dengan stabilo.

"Bunda?" panggil Renma.

"Hm?"

"Misalnya aku bertanya pelajaran ke Bunda saat Bunda asyik merawat anggrek, apa Bunda langsung mau mengajariku?" tanya Renma penasaran. Apakah Bundanya lebih memilih anggrek-anggrek kesayangannya ataukah pendidikan anaknya. Mengingat Mamanya lebih sayang ke tas bermerk daripada anaknya sendiri.

Bu Inayah terkekeh. "Ya pasti langsung mau dong."

"Kenapa? Bunda mau? Bukannya Bunda sayang anggrek-anggrek yang Bunda tanam? Aku dengar, anggrek itu bunga yang sulit dirawat. Kalau Bunda salah merawat sedikit, anggreknya bisa mati lho, Bun."

Lagi, Bu Inayah kembali terkekeh mendengar penuturan putranya. "Renma, anggrek itu bisa dibeli. Kalau pengetahuan dan waktumu, nggak mungkin bisa dibeli."

Renma tersenyum senang, mendengar jawaban Bundanya. Ia merasa lega karena Bundanya lebih sayang padanya dari pada beberapa batang anggrek.

"Bunda?" panggil Renma lagi.

"Hm?" sahut Bu Inayah.

Renma meraih tangan Bu Inayah, lalu meletakkannya di atas kepala. "Kepalaku pusing," katanya bohong.

Bu Inayah mengelus lembut rambut panjang Renma yang dibiarkan terurai. Rambut putranya itu cukup panjang, nyaris menyentuh pundak. Sejak awal, Bu Inayah ingin memangkas rambut gondrong itu. Tapi ia menunggu waktu yang tepat saat Renma sudah mulai terbuka dengannya.

"Ada yang bilang, kalau laki-laki rambutnya gondrong, bisa bikin sering pusing." Bu Inayah masih mengelus-elus rambut putranya.

"Oh ya?" Kedua alis Renma terangkat.

Bu Inayah mengangguk. "Apa kamu mau potong rambut?"

"Boleh. Tapi ada dua syarat."

"Syarat apa?" Dahi Bu Inayah berkernyit.

"Pertama, Bunda sendiri yang motong rambut aku. Kedua, kalau Bunda motong, model rambutnya jangan dimirip-miripin sama Hasan."

Bu Inayah terkekeh seraya mengacak gemas rambut Renma. "Baiklah."

Renma mengambil gunting, cermin, sisir, dan alat cukur rambut dari dalam laci. Ia memberikan ketiga alat tersebut pada Bundanya yang sudah menunggunya di halaman belakang. Bu Inayah pun segera menyisir lembut rambut putranya, lalu mulai memotong dengan penuh hati-hati, takut Renma marah jika salah model.

"Gimana?" Bu Inayah memberikan sebuah cermin berukuran sedang pada Renma. "Bagus, nggak?"

Renma melihat gaya rambutnya di depan cermin, lalu tersenyum tipis. Rupanya Bundanya mengerti bahwa ia tidak mau dipotong terlalu pendek seperti Hasan. Meskipun rambutnya sudah tidak bisa dikuncir lagi, tapi Renma puas dengan rambut barunya.

"Bagus, Bun." Renma mengangguk senang.

"Sekarang, mendingan kamu cepat-cepat mandi. Nanti gatal kena potongan rambut." Bu Inayah menyibakkan serpihan rambut-rambut kecil yang masih tersisa di bahu dan leher Renma.

"Siap, Bun."

Renma segera berdiri sambil menyibakkan rambutnya yang tersisa di kaos yang ia pakai, lalu pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi, ia melihat wajahnya di depan cermin, lalu tersenyum. Entah sebab apa, tiba-tiba ia melepaskan kedua giwang yang tersemat di telinganya. Tak lupa juga ia melepaskan kalung dan gelang karet yang ia pakai.

😊😊😊😊😊

Jangan lupa love, comment, subscribe, dan follow akun zaimnovelis agar penulis semangat mengetik

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang