38. BIDADARI PUCAT

1.1K 124 91
                                    

Tak terasa sudah hampir dua hari penuh Dinda tidak makan apa pun. Bibirnya sudah pucat karena ia hanya minum air keran saja. Terakhir kali ia makan adalah saat sarapan kemarin sebelum berangkat ke acara kenaikan kelas. Dan sekarang hari sudah beranjak malam.

"Gue lemas banget seharian nggak makan." Dinda merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

Kedua alis Dinda tiba-tiba terangkat ketika melihat ponselnya bergetar, ada nama Hasan di layar. Dengan tangan lemas, Dinda meraih ponselnya, lalu mengangkat panggilan.

"Halo. Assalamualaikum," sapa Hasan.

"Waalaikum salam," jawab Dinda lemas.

"Kok suara kamu kayak lemas gitu?"

"Gue agak nggak enak badan."

"Kamu sakit?"

Dinda terdiam, lidahnya mendadak kelu. Ia bingung mau mengungkapkan penderitaannya selama ini atau tidak karena di dunia ini tidak ada satu pun orang yang ia percayai. Kedua orang tuanya selalu menuntut dirinya menjadi siswa terbaik dan berprestasi. Bahkan saat Dinda sakit pun, kedua orang tuanya selalu memaksa gadis itu untuk pergi ke sekolah dan mengikuti les.

"Gu ... gue capek," kata Dinda. Air mata yang ia tahan selama ini akhirnya mengucur juga.

"Kamu kecapekan?" tanya Hasan.

"Gue capek, San. Gue capek sama kedua orang tua gue. Gue capek!" ujar Dinda sesenggukan.

"Capek kenapa, hm?"

"Gue capek dituntut berprestasi terus." Tangis Dinda semakin membuncah.

"Kamu di mana sekarang? Aku jemput ya?" tanya Hasan cemas.

"Gue sekarang ada di rumah. Tapi gue dikurung di kamar."

"Tunggu sebentar! Aku ke sana sekarang. Tolong shareloc ya!"

Hasan yang biasanya bisa berpikir dengan kepala dingin, kini tidak bisa berpikir jernih ketika mendengar suara tangis Dinda. Ia langsung mengambil kunci motor, dompet, dan helm. Kemudian bergegas menuju rumah Dinda. Sesampainya di sana, Hasan meminta izin pada satpam yang berjaga agar dibukakan pintu, menjelaskan bahwa ia ingin bertemu Dinda. Tapi si satpam tentu tidak mengizinkannya masuk lantaran sudah mendapatkan pesan dari majikannya agar tidak membiarkan Dinda keluar kamar sampai besok pagi.

Apa boleh buat? Hasan mendongak, melihat pagar rumah yang begitu tinggi menjulang. Tak bisa berpikir jernih lagi, ia memanjat pagar itu ketika Pak satpam sedang lengah, asyik menelepon sang istri. Dengan cukup mudah, Hasan berhasil masuk ke halaman rumah Dinda.

Hasan : Dinda, aku udah ada di halaman rumah kamu.

Dinda langsung keluar dari dalam kamar, berdiri di balkon, lalu melongok ke bawah. Melihat sudah ada Hasan yang ada di bawah sana. Hasan mengedarkan pandangan ke sekeliling, sorot matanya terhenti pada sebuah pohon kamboja yang tertanam di dekat kamar Dinda. Tanpa berpikir panjang, Hasan memanjat pohon itu untuk sampai di balkon kamar Dinda.

"Dinda, kamu pucat banget!" ujar Hasan cemas.

"Gu ... gue nggak diberi makan hampir dua hari," kata Dinda.

Pelukan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang