🍃 36 - Privilege

454 93 17
                                    

36 - Privilege

Malam menjelang. Dengan sedikit obrolan dengan pemilik rumah sakit, Arkha diberikan privilege agar bisa datang menjenguk kapan saja 24 jam tanpa batasan.

Langkah pelan ia bawa menghampiri ranjang. Duduk tepat di samping ranjang tempat Jihan terbaring sekarang. Perlahan tangan Arkha terulur mengusap pipi lebam Jihan merambat ke dahinya yang tertutupi perban.

Kecelakaan yang dialami Jihan mengakibatkan benturan di kepala dan retak di tangan juga kaki kanannya yang mengakibatkan gadis itu akan kesulitan berjalan selama beberapa waktu ke depan.

Hingga detik ini mata cantik itu masih  enggan terbuka. Jihan masih betah dengan tidur panjangnya.

"Jihan ... maafin aku." Arkha menangkup tangan kiri Jihan dengan kedua tangannya. "Bangun, Ji. Kamu harus marahin aku karena bikin kamu nangis waktu itu. Tolong bangun. Jangan buat aku khawatir."

Arkha menunduk. Perlahan air matanya jatuh mengaliri pipi. Ia menangis seraya terus menggumamkan kata maaf yang tak kunjung ada balasan. Tangannya semakin erat menangkup tangan Jihan berharap kehangatan ini bisa membuat Jihan terganggu dan segera membuka mata.

"Jihan ... aku minta maaf. Tolong bangun. Kamu gak akan ninggalin aku 'kan?" Arkha masih terus menangis menyadari kebodohannya yang telah mengusir Jihan hingga membuatnya berakhir seperti saat ini.

"Aku belum makan, Ji. Gak ada yang nemenin aku makan kaya waktu ada kamu. Gak ada yang bantu nyiapin aku baju, gak ada yang negur aku dan nyuruh istirahat pas aku lembur kerja."

Tangisnya tak juga reda meski bibirnya terus berceloteh mengajak Jihan bicara. Ia terus menangis menggumamkan kata maaf hingga akhirnya tertidur dengan posisi duduk di kursi tepat di samping Jihan. Kepalanya bersandar di sisi ranjang sedangkan tangannya tetap setia menangkup tangan Jihan tanpa ada niat untuk melepaskan.

***

Tadinya Arkha ingin terus berada di sana menemani Jihan hingga gadis itu siuman. Tapi pekerjaan lagi-lagi memisahkannya dari Jihan.

Setelah tahu keadaan Jihan, Juan datang menjemputnya. Walau bagaimanapun rapat hari ini hanya akan berjalan dengan kehadiran Arkha. Mau tak mau Arkha harus membiarkan Jihan dijaga oleh Ardan.

Ngomong-ngomong, sejak Arkha membuka mata pagi tadi, ia tak menemukan Ardan di manapun. Mereka memang sengaja merahasiakan kecelakaan Jihan dari keluarga besar termasuk orang tua Jihan juga kakek Jay, meski Arkha tak yakin kalau kakeknya benar-benar tidak tahu.

Pintu kamar rawat terbuka lalu masuk Ardan dengan penampilannya yang segar. Sepertinya pemuda satu itu baru dari rumah.

"Dan, abang titip Jihan."

Ardan melirik sekilas tanpa minat. "Tanpa abang minta pun aku bakal jaga dia."

Helaan nafas pelan keluar dari mulut Arkha. Ia mendekat pada Ardan, menepuk pundaknya hingga Ardan menoleh.

"Abang tahu kamu mau menjaga Jihan seperti kamu menjaga Jeya. Tetaplah seperti itu, jangan melebihi batas. Selama abang belum menyerahkan surat cerai itu ke pengadilan dia masih istri abang."

Ardan memutar tubuh menghadap Arkha dengan tatapan tak suka. "Bang Arkha yang aku kenal enggak sebrengsek itu. Sejak kapan abang jadi brengsek begini?"

Sedangkan Arkha hanya menggedikan bahu tak acuh. "Kamu yang menyadarkan abang kalau Jihan dan Jiana bukan orang yang sama. Semua yang sudah terjadi juga bukan salah Jihan. Gak salah 'kan kalau saat ini abang ingin mempertahankan Jihan di sisi abang?"

"Abang udah jatuhin talak buat Jihan!"

"Kami bisa rujuk setelah Jihan sadar." Arkha menjawab enteng membuat tangan Ardan terkepal di samping tubuh. Ingin rasanya menonjok mulut Arkha yang seenaknya bicara.

WGM 2 - (Bukan) Dijodohin -ft. ArkhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang