BAB VI Sang Pemilik Hati

82 12 1
                                    

Matahari telah menampakkan wujudnya, namun Zyandru masih menggeliat di balik selimut. Ia menutupi wajahnya yang terpapar sinar mentari dengan kain hangat itu.

"Hei!! Bangunlah kau idaman!!" teriak Gala dari balik pintu.

Merasa tidak mendapatkan jawaban Gala mulai mengetuk pintu kamar Zyandru berulang-ulang. Laki-laki itu juga berteriak dan bernyanyi dengan keras dari balik pintu. Bahkan suara nyanyian Gala bisa terdengar di seluruh penjuru rumah.

Zyandru yang merasa geram lantas menyibak kasar selimut yang menutupinya. Ia melangkah mendekati pintu itu seraya mengusap matanya yang masih mengantuk. Perlahan ia membuka pintu kamarnya dan menatap datar sahabatnya itu.

"Kenapa kau melihatku begitu?"

"Apa kamu tidak tahu? Aku terjaga semalaman," jawab Zyandru dingin.

Tanpa memedulikan jawaban dari sahabatnya, Gala melenggang masuk begitu saja. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang milik Zyandru.

"Lebih tepatnya aku tidak ingin tahu," sahut Gala cuek.

Gala memiringkan posisinya menatap Zyandru yang masih berdiri di depan pintu, "Aku hanya tidak ingin kau terlambat menemui gadis kecilmu itu."

Zyandru berlari begitu saja setelah mendengar ucapan sahabatnya. Seperti kerasukan, ia membersihkan dirinya dengan cepat lalu mengambil senjata yang menggantung di dinding. Zyandru bahkan tidak menyentuh makanan yang sudah disiapkan Gala.

"Ahh sia-sia aku menyiapkan ini," ujar Gala melihat Zyandru pergi.

Zyandru mengurangi kecepatannya saat berada di pemukiman. Ia ingin berlari santai sembari menyapa beberapa warga sekitar. Tidak berapa lama ia berhenti di sebuah gubuk kayu. Gubuk itu cukup luas dengan kebun sayuran yang ada di sampingnya. Sebuah gantungan bambu terlihat menghiasi pintu gubuk itu.

Perlahan ia mendekati pintu itu sembari menyentuh gantungan bambu. Angin yang berembus pelan membuat gantungan bambu itu mengeluarkan suaranya yang merdu dan menenangkan. Diketuknya pelan pintu kayu itu. Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka, menampaknya wujud seorang gadis.

"Oh Kakak!" seru Eila.

Gadis itu tersenyum manis sembari mempersilahkan Zyandru untuk masuk. Mata Zyandru menangkap bayangan seorang pria yang terduduk di depan meja. Berbagai makanan dengan asap yang masih mengepul juga terlihat memenuhi meja itu.

"Kemarilah Zyan! Ayo sarapan bersama kami!" seru pria itu.

Zyandru menolak dengan lembut seraya tersenyum. Namun, Eila yang sudah membawa tambahan piring lekas menariknya dengan paksa. Dan membuat lelaki tampan itu duduk berseberangan dengan Jaladhin, ayah dari Eila.

Mereka bertiga terlihat makan dengan tenang tanpa menimbulkan suara. Tidak ada pula percakapan selama berada di meja makan, mereka sibuk menikmati hidangannya masing-masing. Hingga sebuah kalimat yang terucap dari bibir Jaladhin menarik perhatian keduanya.

"Kata warga sekitar kemarin kau membagikan apel, apa kau mencuri apel lagi?" tanya Jaladhin menatap anak gadisnya itu. Eila terdiam sejenak lalu kembali mengunyah makanan yang tersisa di mulutnya.

"Mencuri apanya? Saya membelinya di pasar," jawab Eila santai.

Jaladhin tidak bisa mempercayai ucapan Eila begitu saja. Ia tahu Eila sangat pandai menyembunyikan kebohongan. Jaladhin kini beralih menatap Zyandru. Baginya, Zyandru adalah pemuda yang jujur, ia lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan putrinya.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang