BAB XXIII Latihan Pertama

16 8 9
                                    

Suara tapak kuda yang berjalan santai terdengar bersahutan dengan aliran air yang terdengar semakin keras. Radev menghentikan kudanya tatkala menemukan aliran sungai yang begitu deras dan jernih. Bahkan teriknya mentari dapat menembus air sungai itu.

"Kita istirahat sebentar," ucap Radev.

Mereka lantas turun dari kudanya. Mengistirahatkan tubuh sejenak setelah melalui perjalanan cukup panjang sembari menikmati suasana hutan yang tampak tidak tersentuh tangan.

"Eila." Gadis itu mendongakkan kepalanya.

"Apa kau masih merasa lelah?" tanya Varen dan mendapatkan gelengan dari sang gadis.

"Kalau begitu ayo! Aku harus melatih kemampuanmu."

Eila hanya mengangguk. Ia lantas berdiri, mengikuti langkah pemuda itu menuju pepohonan yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.

"Baiklah, aku akan melatih kemampuan bela dirimu terlebih dahulu," ucap Varen dan mendapat anggukan dari Eila.

"Coba serang aku."

"Apa? Serang?" tanya Eila bingung.

Varen mengangguk, "Kau pasti pernah diajarkan bela diri di Chandramawa. Lakukan saja apa yang kau tahu."

Eila mengangguk paham. Perlahan ia berjalan mendekati Varen sembari mengambil ancang-ancang. Setelah posisinya cukup dekat gadis itu mulai melayangkan tinjunya. Sayangnya, Varen dapat dengan mudah menghindari serangannya. Tidak ingin menyerah Eila kembali melancarkan aksinya.

Banyak pukulan hingga tendangan telah Eila lakukan, tetapi tidak satu pun yang berhasil mengenai tubuh lelaki kekar itu bahkan Eila tidak dapat menyentuh sehelai rambutnya. Keringat Eila yang telah bercucuran tidak ter bayarkan, lantaran Eila sendirilah yang merasakan lelah.

"Aku jadi ragu kalau kau murid Chandramawa," ujar Varen remeh.

Pemuda itu terus menghindari serangan dari Eila. Raut wajahnya yang tersenyum remeh berhasil menyulut api emosi Eila.

"Arkhhh, apa kau tidak bisa mengajariku dengan benar?! Dari tadi kau hanya memintaku untuk menyerang!! Kau kan tahu aku tidak pandai bertarung!!" bantah Eila.

Wajah gadis itu memerah akibat emosi dan panas yang ia rasakan. Tubuhnya telah terasa lelah, tapi tidak satu pun hal yang Eila mengerti dari latihan ini. Jangankan mengerti, Eila saja tidak tahu apa yang dia lakukan sebenarnya.

Varen terkekeh pelan, "Baiklah, kau sudah menyerangku. Jadi, sekarang kau yang harus menerima seranganku."

Belum sempat Eila membantah, tetapi lelaki itu telah melayangkan serangannya. Ia menyerang dengan pukulan lurus hingga membuat Eila spontan melengkungkan tubuhnya ke belakang.

"Varen!!" seru Eila saat merasakan pijakannya tidak lagi seimbang.

Eila sontak menggenggam tangan Varen guna menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Namun, naas gadis itu justru membawa Varen jatuh bersamanya.

Pemuda itu jatuh menindih Eila dengan kedua tangan yang menopang berat tubuhnya. Jarak mereka kini begitu dekat hingga Eila dapat merasakan nafas hangat sang pemuda. Mereka terdiam, bahkan waktu pun seakan ikut berhenti. Manik gelap Eila bertemu dengan mata tajam sang pemuda. Seakan terhipnotis keduanya tidak bergerak sedikit pun, atau mungkin mereka memang tidak berniat untuk memindahkan posisi tubuhnya.

Selang beberapa detik, gadis itu mengerjapkan mata. Mengembalikan kesadaran yang sempat menghilang entah ke mana.

"Menyingkirlah!" ucap Eila mendorong Varen ke samping.

Pemuda itu tampak pasrah dan membiarkan tubuhnya tergeletak di atas tanah. Dengan wajah memerah Varen menatap langit biru. Tanpa Varen sadari senyuman juga mengembang di wajah tampannya. Sementara itu, Eila mendudukkan diri menenangkan jantungnya yang tak karuan.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang