BAB III Hitam Kelam

42 7 1
                                    

Seorang pria terduduk di atas singgasananya. Pria itu mengenakan kain jarik selutut dengan atasan sutra yang terlihat elegan. Perhiasan dan mahkota emas yang melekat memberikan kesan mewah padanya.

"Hormat hamba, Yang Mulia!" ucap seorang pria tertunduk hormat di hadapannya.

"Kabar apa yang kau bawa dari Brata, Suma?" tanya seorang pria yang dipanggil Yang Mulia itu.

Dia adalah Tarachandra Warandana, sang raja bengis dari Kerajaan Reswara. Wajahnya memang tampan tetapi tatapannya yang tajam bagai harimau yang siap menerkam. Aura gelap dan kejam juga pekat menyelimutinya, membuat setiap orang tak berani menatapnya.

"Keadaan Kota Brata berada dalam kendali, Yang Mulia. Hamba tidak menemukan adanya pemberontakan seperti sebelumnya."

Sang raja tersenyum miring, "Bagus. Tidak sia-sia aku menghabisi mereka."

"Oh iya, apa kau tidak menemukan tanda-tanda bayi itu di sana?" sambungnya lagi.

"Tidak Yang Mulia. Bahkan selama hamba mengawasi di sana, tidak ada seorang pun yang berani mencari masalah dengan prajurit kerajaan. Mereka hanya bekerja sesuai dengan Yang Mulia perintahkan."

Tarachandra kini bangkit dari singgasananya. Ia berjalan tegap menghampiri pria yang setia mengabdi kepadanya.

"Berdirilah Suma!" Pria itu berdiri, menampakkan tubuh tinggi kekarnya yang hampir setara dengan sang raja.

"Kau memang sahabatku, Suma. Hanya kau yang bisa aku andalkan," ucap Tarachandra menepuk pundak Suma.

"Terima kasih Yang Mulia, hamba hanya melaksanakan kewajiban hamba," ucap Suma.

Tarachandra tertawa pelan mendengar ucapan Suma, "Kau memang tidak pernah berubah, patih. Beristirahatlah, kau pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh."

"Baik Yang Mulia," pria itu lantas membungkuk sebelum berbalik. Namun, baru beberapa saat ia melangkah Suma kembali berbalik.

"Ada yang akan kau sampaikan lagi, Suma?"

Suma, kembali menghampiri sang raja yang sekaligus sahabatnya itu, "Mohon ampun Yang Mulia, tapi bagaimana dengan bayi itu? Apa hamba harus kembali melakukan pencarian?"

Tarachandra memperlihatkan seringainya. Mendengar pertanyaan Suma membuat tatapan remeh Tarachandra juga terlihat.

"Kau tidak perlu melakukan hal itu. Aku sudah menyusun rencana dengan Yuwaraja."

"Tapi Yang Mulia, bukankah sampai saat ini kita tidak mengetahui keadaan bayi itu? Hamba khawatir jika bayi itu kembali, Yang Mulia," tanya Suma khawatir.

"Aku mengerti kekhawatiranmu itu, Suma. Tapi, akan lebih baik jika kita mencegah kebangkitan Garuda daripada harus memikirkan kembalinya bayi itu." Suma menautkan alisnya, tidak mengerti dengan ucapan rajanya.

"Berlian suci itu. Jika berlian itu ada di tanganku, dia tak akan bisa melakukan apa-apa. Dia tidak akan bisa membuktikan jika Dia adalah keturunan Santika. Lagi pula, siapa yang mau percaya pada dongeng yang sudah lama terkubur itu?" jelas Tarachandra lagi.

"Jika memang begitu izinkanlah hamba untuk mencari berlian suci itu, Yang Mulia," mohon Suma sembari berjongkok penuh hormat.

Lagi-lagi Tarachandra dibuat terkekeh mendengar ucapan Suma. Ia tahu Suma akan selalu menuruti dan setia pada semua perintahnya. Setidaknya Suma tidak berkhianat seperti yang telah dilakukan oleh kedua sahabatnya yang lain.

"Sepertinya kau juga akan menyerahkan nyawamu, jika aku memintanya."

"Benar Yang Mulia, hamba akan mengorbankan nyawa hamba jika memang diperlukan," jawab Suma tegas.

ARKARA, Kembalinya Sang KesatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang