4

680 58 1
                                    

Siang itu, dikala terik mentari bersinar, Eren duduk di taman sekolah dan masih dengan pikirannya yang sibuk. Ketiga temannya bahkan ikut bingung karena melihat tingkahnya yang tiba-tiba diam.

"Dia daritadi mikirin apa si Conn? Uang listrik? Atau cicilan mobil?" Tanya Levi.

"Bukan ege, Eren mana punya mobil gila! Dia lagi mikirin orang yang ngasih onigiri di mejanya" Jawab Connie.

"Lebay banget sampe direnungin gitu"

Levi segera menghampiri Eren dan menepuk pundak Eren sekilas.

"Heh bocil ep ep, gausah lebay deh lo mikirin gituan doang sampe berjam-jam"

Eren hanya menoleh sebentar kemudian kembali menunduk.

"Dih najis, dicuekin. Lo tuh kalo ada yang suka harusnya bersyukur berarti lo masih bisa dibilang cakep yaa walaupun kemana-mana masih cakepan gue sih.."

"Narsis lo deck! Diem deh lo Lev, nyerocos mulu dah tuh mulut. Ga cape apa?"

"Dibilangin ngeyel lo, ntar ga di bilangin lo update story bilangnya 'punya temen pek pren semua' pake emot love patah"

"Engga ya, gila lo. Sana lo main sama Connie Armin aja, jangan ganggu gue"

Eren bangkit dan pergi ke arah kamar mandi laki-laki. Sementara Levi, ia kemudian disusul oleh Connie dan Armin.

"Eren marah?" Tanya Armin.

"Engga, dia kan emang suka overthinking hal gajelas. Biarin aja, ntar juga balik lagi" Jawab Connie.

"Baru keinget gue, waktu si Eren overthinking gara-gara didiemin Zoe-sensei. Padahal mah dia cuma lagi sakit gigi" Sahut Levi.

"Nah makanya itu, kebiasaan dari kecil keknya"

"Kuy lah cabut, gue laper" Ajak Armin.

Mereka bertiga pergi menuju kantin.

.
.

Tak lama setelah buang air kecil, Eren memilih untuk kembali ke kelas daripada bergabung dengan teman-temannya di kantin. Ia kemudian tidur dengan keadaan kelas yang cukup berisik.

"Woy, bangun lo"

Suara seorang gadis menyadarkan Eren dari tidurnya. Ia lantas mengangkat pandangan dan melihat Mikasa di hadapannya.

"Mika-"

"Udah gausah nyebut nama gue, najis kalo denger dari mulut lo. Gue cuma mau ngomong dikit kok"

Mikasa melemparkan beberapa lembar foto ke meja Eren dengan begitu keras hingga menimbulkan bunyi yang kuat.

"Maksud lo ngikutin sampe foto-fotoin gue kayagini apa? Tai lo ya! Ga bisa hargain privasi orang banget! Emang uda sinting tuh otak lo!"

Eren melihat satu persatu foto yang tersebar di mejanya. Foto tersebut menampilkan Mikasa yang sedang berjalan, sedang memasuki halaman rumahnya, sedang makan siang di kantin, bahkan yang lebih parah adalah foto yang diambil dari luar jendela Mikasa, dimana disana terlihat Mikasa sedang memegangi beberapa buku.

"Ini bukan gue, sumpah" Eren menangkis dengan wajah polosnya.

"Gausah bohong, ga ada yang terobsesi ke gue selain lo! Mendingan mulai sekarang hapus aja gue dari otak lo, jangan ngelirik, ngomong atau berinteraksi apapun ke gue. Najis sekelas sama orang gila kaya lo!"

Mikasa pergi begitu saja tanpa menunggu penjelasan dari Eren. Kala itu Mikasa memang terlihat sangat murka. Jadi mau tak mau Eren hanya bisa diam.

"Beneran lo ngikutin Mikasa?" Tanya Porco, teman sekelas Eren.

Seluruh mata saat ini memandangi Eren dengan tatapan yang bermacam-macam.

"Engga.. Bukan"

Porco hanya menghela nafas kemudian kembali ke tempat duduknya. Sementara Eren? Ia harus menanggung semakin banyak pikiran di otaknya. Setiap lembar foto tersebut tertulis kalimat "Eren".

Jelas sekali itu adalah sebuah jebakan, namun sangat disayangkan, tulisan itu begitu serupa dengan tulisan tangan Eren. Bahkan hampir tak ada bedanya. Jadi untuk membela diri saja Eren pun tak bisa.

"Nasib gue lagi apes bangeeeett!"

.
.
.

Sejak didatangi oleh Mikasa, semangat Eren langsung menurun drastis. Ia bukan sedih karena dibenci oleh gadis yang disukai, tetapi Eren sedih karena dirinya dituduh seperti ini. Hal itu membuat Eren kecewa dengan dirinya sendiri sebab tidak memperkirakan sesuatu yang akan datang.

"Si goblok ya gue ini, udah tau Mikasa cakep, tajir, pinter, masih aja nyoba deketin. Dia ya ga se level lah sama gue"

Gumam Eren kesal di kamarnya. Gumaman tersebut disahut oleh meong an dari kucing yang diadopsinya kemarin.

"Laper ya? Yuk makan" Eren mengangkat kucingnya yang sempat mengelus elus kakinya.

Eren membawa kucingnya menuju dapur dan memberi diri serta kucing dengan makanan. Setelahnya, Eren segera berangkat menuju tempat kerjanya.

.
.
.

"Lesu banget bro, kenapa?"

"Haaaahh... Gapapa, ngantuk aja"

"Serius lo, ada masalah ya?"

"Ya gitu lah, namanya hidup sendiri pasti masalah kerasa lebih berat. Padahal mah cuma masalah sepele"

"Yang sabar ya bro ya, gue juga pusing nih nyari cuan. Pengen nyari rumah kaga nemu nemu"

"Rumah? Lah bukannya lo uda punya?"

"Itu loh.. Rumah buat pulang, cerita, healing"

"Oh.. Nyari ayang ya"

"Hahahah, yuk ah lanjut kerja. Ntar si bos tau bisa di kick kita"

Reiner menepuk pundah Eren sekilas dan pergi menuju meja pelanggan yang baru saja tiba. Sementara Eren, ia melanjutkan tugasnya mencuci piring kotor.
Eren bekerja di sebuah restoran cepat saji yang berada 10KM dari rumahnya. Sejak orang tuanya meninggal, Eren mencari uang disana. Ia senang bekerja, apalagi rekannya adalah pria pekerja keras yang usianya 5 tahun diatas Eren. Dengan itu, Eren dapat melupakan sedikit kesedihannya. Setelah pulang sekolah, Eren akan langsung pergi bekerja. Kadang Eren terlebih dahulu pulang ke rumah untuk bersih-bersih dan memberi peliharaannya makan, kadang juga ia akan langsung pergi ke tempat bekerja.

Jam pulang kerja telah tiba..

"Bro, besok ada uang buat jajan ga?" Tanya Reiner seraya berjalan pulang bersama dengan Eren.

"Ada kok, kenapa?"

"Gapapa, kalo gaada minta ke gue aja. Jangan ditahan ga jajan"

"Enggalah, gue ga mau ngerepotin. Lagipula bisa minta om gue"

"Iyaa.. Kalo mepet banget minta aja ke gue"

"Okelah bro"

Malam itu pukul 21:30, Eren serta Reiner berjalan pulang bersama menuju rumah mereka yang kebetulan satu arah. Namun rumah Reiner lebih dekat dengan restoran ketimbang rumah Eren. Mereka saling mengucapkan perpisahan tepat didepan apartemen Reiner.

To be continued...

Beloved Bad Boy {Eren x Mikasa}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang