019. Semester
Tara. Wanita paruh usia itu tampaknya benar-benar sangat gelisah kala ini. Pikirannya sedang tidak karuan, dia benar-benar mencemaskan Putri. Seorang gadis kecil yang dia sudah anggap seperti anaknya sendiri itu, tadi tergeletak lemah di depan pintu kamar mandi, tubuh Putri serasa dingin waktu itu, bibirnya pun kian memutih pucat.
"Jaga anak itu...." gumam Tara terus memejamkan matanya sembari memanjatkan doa.
Tak selang itu, Ainaya datang membuka pintu ruangan Putri di rawat. Yang di mana nomor ruangan itu, sudah diberitahu Tara lewat chat.
Ceklek!
"Bun," seru Ainaya memanggil Tara yang terduduk lesu di kursi samping bed rumah sakit.
Sontak Tara menengok ke belakang, mata lentiknya memperlihatkan Ainaya yang menghampirinya.
"Putri gapapa, Bun?" tanya Ainaya memastikan, dia berharap jawaban dari Tara nantinya, akan menenangkan hati dan perasaannya.
Wajah Tara seakan dibuat membeku, begitu pucatnya, mulutnya bergetar tidak kuasa berkata sepatah katapun.
"Nay...." Tara mengulurkan sebuah amplop yang di dalamnya berisikan surat.
Ainaya membuka amplop itu. Dibacanya satu persatu kata yang terkandung di kertas itu. Wajahnya benar-benar terkejut, jantungnya ingin berhenti berdetak saat itu juga.
"Jan-tung koroner?" Ainaya terkejut setengah mati. Putri Mawar di diagnosa mempunyai penyakit berat jantung koroner.
Penyakit jantung yang lumayan serius, tidak dapat disembuhkan seumur hidup, hanya bisanya menjalani perawatan diagnosis medis. Bagimana bisa gadis kecil itu mempunyai penyakit yang seberat ini? Putri adalah gadis yang sama sekali tidak menampakkan kesakitan, namun nyatanya?
Ainata kembali melipat surat itu lagi, segera dia kembalikan surat beserta amplop-nya itu kepada Tara.
"Bunda yakin, Putri pasti sembuh, Nay." ucap Tara tersenyum getir. Hanya harapan-harapanlah yang bisa menjadi kekuatan mereka saat ini.
Ainaya sekarang menatap Putri yang tertidur sangat lelap, dengan selang infus terpasang di lengannya, Selang Nasal Cannula
terpasang di bagian bawah hidung Putri. Wajah gadis kecil itu tampak lemah sekali."Putri," Ainaya memanggil nama gadis itu secara bergemetar.
Ainaya menggenggam kedua tangan halus Putri, diusapnya secara pelan, memberi segala kekuatan untuk Putri.
"Tidak untuk yang kedua kalinya, Putri." Ainaya bicara. "Saya sudah pernah kehilangan adik, tapi mohon untuk kali ini saja, yang ini jangan di bawa pergi."
"Biarkan dia hidup lama, Tuhan."
"Walau harus nyawa saya yang dipertaruhkan, walau nyawa saya yang harus ditukar."
"Biar saya yang pergi, jangan dia."
Tara berdiri dari duduknya, perkataan Ainaya itu benar-benar membuatnya seakan dua kali ditusuk oleh jarum. "Nay!"
"Jangan kayak gitu , Nay! Nggak akan ada pergi, baik kamu, ataupun Putri." ucap Tara menerangkan hal pada Ainaya.
"Tapi Bun," Ainaya melirik Tara. "Pasti nanti ada gilirannya untuk Ainaya pergikan?"
Tara mendirikan jari telunjuknya itu di hadapan bibir Ainaya, membungkam gadis yang omongannya sedang melantur seperti itu, Tara menurunkan jarinya itu, lalu membawa Ainaya ke dalam dekapannya.
"Shtt..., kalau Naya ngomong kayak gitu, lagi.... Bunda sobek mulutnya!" ancamnya seraya mengelus rambut Ainaya. "Jangan pernah menyerah, dan jangan berpikiran untuk pergi, okeh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ainaya 2 [DUNIA PENUH TOXIC]
Jugendliteratur[ SELESAI ] "Yang lemah, pasti kalah." -nurhmanis in Ainaya 2. "Jangan anggap aku obat, karena pasti aku juga, yang akan nyakitin kamu." -Brian Putra Adeon. "Semua bisa dimaafin, kecuali pengkhiatan, Brian." -Ainaya Putri Adinda. Dia...