🌻006. Zoom

14 10 0
                                    

006. Zoom

Ainaya secepatnya menepis tangan Azka begitu saja dari jemari-jemarinya. Bukan gimana-gimana, itu sedikit risih bagi Ainaya. Walau dia tahu niat dan maksud dari Azka itu baik, namun tetap saja.

"Sorry, bukan maksud gue buat gandeng lo, gue cu-------"

"Cuma khawatir sama gue. Iya?" potong Ainaya yang dibalas anggukan kepala dari Azka.

"Ka, gue bisa sendiri. Lagian juga, jarak dari rumah gue, udah deket. Jadi, lo, nggak perlu khawatirin gue. Karena, lo salah orang buat lo khawatirin." papar Ainaya.

Dua fakta yang harus dicatat. Pertama, memang rumah Ainaya tak jauh dari sini, hanya berjalan lurus benar-benar hanya berjalan setapak untuk sampai kerumah Ainaya, yang jaraknya sekisar beberapa meter lagi. Dan fakta kedua, Ainaya tidak perlu dikhawatirin orang, dia tidak suka seperti itu. Dia masih bisa untuk melindungi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Itulah Ainaya.

"Gue harus pastiin lo aman." Azka masih berusaha keras agar Ainaya menerima tawarannya.

"Gue aman." ulas Ainaya.

"Okeh, kalau gitu. Hati-hati, di jalan, ya." tandas Azka, Ainaya benar-benar bersikeras menolak ajakan Azka.  Remaja ini tak akan ambil pusing. Toh, dia sudah bodo amat.

"Iya." pungkas Ainaya menang di dalam debat itu.

Segera Ainaya beranjak pergi dari tempat itu berjalan kaki menuju rumahnya, omong-omong nih ya! Rahasia saja. Ainaya merasa senang, karena dia tak perlu repot-repot, mengeluarkan uang lembaran seratus ribu rupiah pada si sopir Taksi, tadi. Aman duitnya itu.

Azka lalu menyita pandangannya kembali pada si sopir itu tadi. Bukan mau memukulnya lagi. Azka bergerak cepat mengicir ke jok motor miliknya, di bukanya jok motor itu, kemudian Azka meraih kotak P3K yang di bawa-bawanya di dalam sana. Diulurkannya kotak itu pada tangan laki-laki tua itu.

"Nih, gue masih berperikemanusiaan, sama lo. Tapi, lain kali.... kalau lo ketemu lagi, sama gue. Gue pastiin gigi lo bakal ompong, sekujur tubuh lo lebam parah." sedetik saat setelahnya mengatakan ini, Azka segera naik ke motornya, kemudian menancapkan gasnya sedikit pelan.

"ANAK TITISAN BIAWAK!" umpat lelaki itu secara meluapkan segenap kekesalannya pada Azka.

"DARIPADA LO, AKI-AKI BAU MAYAT, BAU TANAH!" teriak Azka sekeras mungkin mengalahkan suara tancapan gasnya.

Brum! Brum!

.......

"Katanya pergi sebentar, ternyata lamaa." nada suara yang dibuat Riris itu seakan sangat bisa dinyanyikan.

Riris berkata demikian kala mendapati Ainaya yang baru saja pulang, entah darimana Ainaya itu. Kalau dari bandara sih kurang mungkin. Soalnya Riris yakin saja begitu.

"Kamu kemana aja, Nay?" tanya Riris penasaran. Dirinya berdiri tegak di depan pintu, siap mewawancarai Ainaya melontarkan pertanyaan yang sejujurnya tak penting.

"Nganterin Brian ke bandara, Bunn." sahut Ainaya meringkas sedikit kejadian tadi. Dia rasa tak begitu penting untuk menceritakan tentang sopir tadi.

"Kamu pulangnya jalan kaki?" Riris binggung, sebelumnya dia sempat melihat Ainaya sekelebat naik ke dalam mobil Brian.

"Iya Bun." tandas Ainaya iya saja. Sejujurnya dia mau cerita tapi tidak terlalu penting.

"Yaudah, kamu mau makan?" tawar Riris mengingat saat pergi pagi tadi, Ainaya belum menyicipi secuilpun makanan.

Ainaya menggeleng. "Nanti, Bun, Naya mau ke kamar dulu, ya?"

Ainaya 2 [DUNIA PENUH TOXIC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang