sakit yang sebenarnya

2.7K 90 7
                                    

hai, salam 6 agama!

tandai typo!

H A P P Y R E A D I N G !

[ tiga lima ]

--

Dua minggu berlalu, ia masih tak mendapatkan kabar apapun dari Kaila. Setelah ia melihat rekaman video dari ponsel Reno tempo waktu lalu, ia langsung mengkonfirmasi kebenarannya kepada yang bersangkutan, yang tak lain adalah Dita.

"Dit?" panggilnya yang langsung mendapat respon cepat dari sang empunya nama.

"Ya?" tanya nya dengan wajah sumringah.

"Apa ini?" Cakra menyodorkan ponselnya yang langsung diterima dengan Dita. Alisnya mengerut sebelum tubuhnya menegang sempurna. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Apa maksud video ini, Dit? JAWAB!?" sentaknya keras membuat Dita berjengkit kaget. Cakra mencengkeram dagu Dita kuat hingga sang empu meringis tertahan.

"Sshh, Ka sakit hiks- lep-pas," air matanya mengucur, berharap Cakra mau melepaskan cengkramannya.

Dengan kasar, Cakra menghempas tubuh Dita hingga sang empu terduduk dilantai. Cakra berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh gadis yang pernah mengisi hari-harinya itu. "Maksud Lo fitnah Kaila sampai segitunya itu biar apa?" desisnya tajam.

Dita menatap Cakra tak percaya, pria yang selama ini dicintai dengan sepenuh hati, kini memperlakukannya kasar dan lebih memilih Kaila si wanita yang baru hadir dihidupnya, yang notabenenya adalah istrinya sendiri. "Kamu berubah, Ka."

"Jawab pertanyaan gue, Dit!" sentaknya lagi membuat Dita memejamkan matanya, sebelum ia menatap tajam lelaki yang saat ini masih mengisi hatinya itu.

"Aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu. Aku ngga mau kamu lebih memilih perempuan itu, karena dia ngga pantes buat kamu, Ka!" ia meluapkan unek-uneknya.

"Sekarang gue sadar, kenapa dulu Reno selalu larang gue buat deket sama Lo, karena emang Lo ngga pantes buat gue. Gue memang bukan orang baik, tapi gue masih terlalu baik buat Lo yang punya seribu cara untuk dapetin apa yang Lo mau, bahkan sampai Lo nyakitin orang-orang yang ada disekitar gue!" tukasnya dingin.

"Lo terlalu licik buat gue, Dit. Lo udah buat gue buta, gue ngga bisa membedakan mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Dengan bodohnya, gue lebih memilih sebongkah batu dan rela membuang sebongkah berlian berharga. Gue kehilangan segalanya karena Lo!?" sambungnya menggebu-gebu.

"CUKUP, KA. CUKUP! Gue muak sumpah, muak sama Lo semua. Lo ngga bisa rasain gimana rasanya jadi gue, gue kehilangan semuanya hanya karena satu kata, mengalah. Gue banyak mengalah hingga gue kehilangan orang yang gue sayang. Dan sekarang, gue ngga mau lagi mengalah, gue mau egois, gue ngga akan biarin siapapun merenggut kebahagiaan gue termasuk Lo sama Kaila!" bentaknya dengan wajah memerah menahan emosi.

"Seperti yang Lo bilang tadi, gue rela lakuin apapun untuk bisa dapetin apa yang gue mau. Dan satu hal yang harus Lo ingat, gue ngga akan pernah biarin kalian hidup bahagia!" finalnya tersenyum penuh arti.

Tubuhnya kini terlihat lebih kurusan dari biasanya. Wajahnya terlihat lesu dan tak bersemangat. Ia sudah mencari Kaila ke seluruh tempat yang pernah didatangi oleh gadis itu, namun sampai sekarang ia masih belum mendapatkan kabar dari gadisnya.

"Kemana lagi aku harus cari kamu, Kai? Aku lelah dengan kondisi saat ini, lelah dengan semuanya, kecewa dengan diriku sendiri. Jangan biarkan aku mati dalam keadaan menyesal, Kai. Ku mohon pulanglah!" air matanya luruh sembari menatap kearah bingkai foto yang menampilkan sepasang mempelai yang baru saja menyelesaikan acara resepsi pernikahan. Cakra memandangi wajahnya yang ada pada foto, yang terlihat datar dan terpaksa secara bersamaan itu dengan senyum getir.

"Seharusnya waktu itu aku tersenyum lebar, Kai. Tersenyum karena aku bisa menikah dengan perempuan sebaik dan setangguh kamu." lirihnya pilu.

Dadanya terasa sesak saat mengingat perlakuannya pada Kaila saat di usia pernikahannya yang baru terlaksana beberapa hari. Perlakuan tak mengenakan harus didapat oleh Kaila dengan hati lapang dan ikhlas. Diperlakukan oleh suami dengan tidak pantas membuatnya menjadi wanita yang memiliki hati bak baja. Namun semua perlakuan kasar yang didapat dari Cakra, tak membuatnya mengeluh akan keadaan. Toh, ia juga yang menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya serta kedua orang tua Cakra. Oleh sebab itu, ia harus siap menanggung resikonya.

Tanpa Cakra sadari, dibalik pintu kamarnya, terlihat Shita yang menangis melihat kondisi putra bungsunya itu. Jika tau akan seperti ini endingnya, lebih baik waktu itu ia membatalkan perjodohan yang telah ia rencanakan sendiri. Ia tak sanggup bila harus melihat Cakra dalam keadaan lemah tak berdaya seperti ini.

Sudah lebih dari satu minggu, Cakra tak mau keluar kamar, tak masuk sekolah, bahkan tak mau makan sebelum bertemu dengan Kaila. Dengan susah payah, Shita, Arka, Sakha serta ketiga sahabatnya itu membujuknya agar mau makan. Namun hasilnya nihil. Cakra tetap pada pendiriannya, tidak akan memakan apapun sebelum ia bertemu dengan Kaila. Setiap malam, ia selalu menghabiskan beberapa botol minuman. Kondisinya menurun drastis. Hingga tak jarang, para sahabatnya datang dengan menggandeng seorang dokter untuk bisa mengecek kondisi Cakra.

"Arghhh- bodoh, bodoh, bodoh Lo Cakra! Gara-gara Lo, Kaila jadi pergi." racaunya seraya memukuli kepalanya.

Shita yang melihat itu memecahkan tangisnya, segera ia berlari kearah putranya itu. "Cakra stop hiks-! Stop, nak. Jangan sakiti diri kamu sendiri, mama ngga kuat liatnya!" Shita menggeleng sembari memeluk erat tubuh lemah sang putra.

"Cakra udah jahat sama Kaila, ma. Pasti Kaila udah benci sama Cakra. Kaila ngga akan mau lagi ketemu Cakra, ya ma? Kok udah dua minggu tapi ngga keliatan batang hidungnya? Iya, pasti Kaila ngga mau ketemu sama Cakra." ujarnya terdengar memilukan.

Shita memegangi tangan putranya, tak membiarkan tangan yang dulu menggenggam lembut tangannya saat masih bayi itu, menyakiti dirinya sendiri. Sakha yang baru saja masuk ke kamar sang adik, hatinya terasa teriris melihat kondisi Cakra yang semakin kesini semakin memburuk. Ia juga tak kuasa menahan tangisnya saat melihat sang ibu sedang memeluk adiknya erat sembari menangis tersedu.

"Ma?" lirihnya menatap iba sang ibu.

Shita menoleh, menatap putra sulungnya itu dengan tatapan memohon, "tolong mama, nak, sekali ini saja! Tolong cari tau dimana keberadaan Kaila, mama ngga tega liat kondisi adik kamu yang semakin hari semakin menurun. Mama takut hal ini akan berdampak pada kondisi mentalnya." ujarnya sembari terisak.

Sakha mengangguk pelan, "Sakha akan bantu." jawabnya seraya ikut memeluk erat sang adik dan ibunya bersamaan.

"Gue janji, Ka. Gue akan bawa pulang Kaila, cepat atau lambat." bisiknya tepat di telinga sang adik. Berharap setelah Cakra mendengarnya, ia akan kembali tenang.

--

"Gue mohon kali ini, aja!"

"Ngga! Berapa kali gue harus bilang sama Lo? Engga ya engga, pemaksa."



"Kondisi Cakra menurun. Ada sedikit masalah pada kesehatan mentalnya. Tiap malam dia selalu nyebut nama Lo. Seminggu lebih dia ngga mau keluar kamar bahkan ngga mau makan. Tiap malam dia minum buat melampiaskan rasa sakitnya saat memori dimana dia selalu nyakitin Lo itu, terlintas begitu saja diotak nya."




--

TO BE CONTINUE.

gimana sama part nyeselnya Cakra?

Puas ga sih? Jujur kalau aku pribadi belum puas.

Next or no?

See u.

ꜱᴛᴏʀʏ ᴋᴀɪʟᴀ [ ᴛᴀʜᴀᴘ ʀᴇᴠɪꜱɪ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang