Drama 04

85 45 0
                                    

Happy reading ♥️

💦💦💦

Aku rebahan di kamar. Angan ku melayang saat awal pertemuan dengan Azzam.

Ketika itu...

. . . .

"Astaghfirullah, Silvanna Aurelia!!! Liat nih, nilai kimia kamu, rendah sekali. Kamu belajar enggak, sih, di Rumah? Ibu sarankan kamu cari guru les!"

Aku berdecak kesal, "Bu, Bu. Ibu tau nggak, sekolah tempat apa?"

"Tempat belajar, menuntut ilmu."

"Nah, itu, kenapa nyuruh saya les di rumah lagi? Kan, bisa belajar di sekolah"

Ucap ku seraya melipat tangan didada.

"kamu dibilangin, ya" Geram Bu sukma dengan menjewer telinga ku.

"Aduh, iya iya Bu, Iya. Saya akan les"

"Oke. Sekarang kamu boleh pulang"

"Iya Bu, saya permisi."

Haduh, apes bener dah. Jujur sih, aku masalah kimia angkat tangan deh, ya. Tapi kalau masalah tajwid dan agama, in syaa allah top deh. Astaghfirullah, sombong amat lu maemunah.

.
.
.
.

Sesampainya di rumah, aku gemetar. Alamat di marahin Ibu, nih.

Tapi, di halaman, kok ada motor asing. Siapa ya.
Aku segera masuk ke rumah. Sampai di ruang tamu, aku melihat seseorang yang ku kenal. Dia, Azzam. Sepupu batu.

Kenapa batu? Iya, keras.

Keras kepala maksudnya.

Aku cuma melirik sekilas, lalu segera masuk ke kamar. Sempat melihat Azzam menatap ku, lalu berpaling lagi. Hih, dasar batu betangkup.

****

Ketika malam tiba, aku melangkah ke ruang tamu, dan disana sudah ada Azzam yang duduk.
Aku melangkah perlahan mendekatinya, berniat menyapa.

"Hai"

Krik krik...

Busyet dah nih orang, di sapa kok diem aja. Haduh, budeg kali ya.

Coba ulangi sekali lagi deh.

Ekhem.

"Hai, Zam"

Masih hening. Arghhh, nguji kesabaran nih orang.

"Hai Azzam muazam air zam zam!"

Dia cuma melirik sekilas. Tapi, kok dilirik gitu aja, aku jadi gemeteran, ya. Apakah ini yang dinamakan lapar.

"Sisi, Azzam"

Ibu memanggil kami.

"Iya, Tan?"
Azzam menjawab.

"Yuk, makan. Makanan udah siap, nih."

"Iya, Tan."

Setelah menjawab, Azzam langsung bangkit menuju meja makan.

Eh, eh. Dikira aku, nih, patung apa? kok dicuekin sih.

Tapi biarlah yang penting aku makan dulu, laper soalnya.

. . . .

Dimeja makan.

"Oh ya, Zam. Jadi nanti mau tinggal dimana?" Tanya ayah.

"Rencananya, mau cari kos kosan Om."

"Kalau gitu, besok Om tanya, deh, tuh kosan depan."

"Ada Om? Wah, makasih ya Om"
Azzam tersenyum senang.

"Iya, sama sama."

Selesai makan, kami duduk di ruang keluarga.

Hening sesaat, sampai akhirnya aku bertanya

"Yah, kenapa Azzam pindah sekolah?"

Ayah beralih menatapku yang semula membaca buku.

"Orang tuanya mau keluar negeri. Jadi dia dipindahkan kesini."

Aku mengangguk paham.

Bagus, deh. Aku bisa minta ajarin mata pelajaran kimia.

. . . .

Setelah berbincang bincang di ruang keluarga, kami beranjak untuk tidur.
Namun sebelum Azzam bangkit, aku segera memanggilnya, tentu setelah Ayah dan mama masuk kamar.

"Zam?"

Azzam menoleh.

"Aku mau bicara sama kamu. Duduk."

Azzam duduk tanpa banyak penolakan.

Hening. Ish kok jadi grogi sih.

"Ada apa?"
Azzam melirik ku

"Mmm, aku ada tawaran spesial buat kamu. Mau?"

"Hmm."

"Tawaran paket simbiosis mutualisme. Nah, disini kamu ngajarin aku kimia, nanti kamu bisa dapat semua apa yang kamu mau. Gimana?"

"Aku nggak butuh apa-apa."

"Dih, jangan sombong napa. Ya, siapa tahu suatu saat kamu butuh."

"Pasti nilai kimia kamu rendah, kan?" Azzam tertawa mengejek.

"Kok, tahu?"

"Kamu makan gorengan lima bayar tiga aja aku tahu, Si."

"Idih. Ya? Deal, ya?"

"Hmm, oke."

"Yess!"

Aku bersorak. Paket simbiosis mutualisme ku laku. Walau aku yakin, Azzam pasti tidak butuh apa-apa dariku. Biarin. Asal ku nggak rugi.
.
.
.

To be continued...

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang