Happy reading ♥️
-----------------------------------------------------------------
💦💦💦
Aku membuka mata perlahan. Tidurku terganggu karena seperti ada yang menoyor kepalaku.
Setelah ku lihat, oh ternyata jam sableng pelakunya. Dia menoyor menggunakan ujung buku gaesss. Enggak bisa agak lembut dikit apa. Kesel.
"Apa sih, Zam. Sakit tau!"
Azzam meletakkan buku tersebut di meja. "Ya, kamu dibangunin susah amat. Latihan Mati atau latihan enggak bernafas?"
"Jahat banget ngomong gitu."
"Udah, yuk pulang. Kamu masih harus istirahat."
Aku mengangguk.
"Ini udah jam berapa Zam?"
"Jam dua siang."
Azzam melirik jam tangannya.
"Hah? Berarti aku ketiduran dong?"
"Ya iyalah tidur. Kamu pikir ngapain? Bertapa?"
"Ish. Galak banget."
"Udah, buruan."
"Iya iya. Eh, bentar. Kamu udah sholat?"
"Udah tadi di mushola Sekolah"
"Udah makan?"
"Udah. Kenapa sih? Ciee perhatian ciee"
"Ih, apa an sih. Aku cuma gak mau kamu jadi ikutan sakit."
"Iya iya."
"Eh, Zam. Riri mana?"
"Tuh, nungguin di parkiran."
.
.
.
."Yuk, naik." Ajak Riri.
Setiap pulang sekolah, aku memang selalu bersama Riri. Dia yang nyetir. Kami naik sepeda motor.
Azzam berdiri tak jauh dari kami. Dia sedang memantau. Tak tahu apa yang dipantau. Menghitung panjang jari jari ban, kali.
"Pegangan, Si!"
Riri berteriak kencang.
"Ogah!"
Kataku tak kalah kencang.
Enggak tau kenapa harus kencang. Aku juga bingung. Padahal santai lebih enjoy. Ya, kan?
Tiba tiba Riri menarik gas nya kencang. Nah, kan. Kencang lagi.
Gas kencang itu membuat aku hampir terjungkal kebelakang. Nggak ada akhlak memang Riri. Untung aku segera memeluk Riri. Kalau enggak, nggak tau lagi gimana nasib ku.
"Riri!"
Bukan aku yang jerit, tapi Azzam. Ia mendekat dan hampir memegang pundak ku.
"Jangan sentuh aku! Aku jijik!"
Nah, ini baru aku yang teriak. Enak aja Azzam mau pegang aku. Tidak bisa, Marimar.
"Udah jalan sana. Kebanyakan drama kalian."
Azzam memberi perintah.
Riri segera melajukan motornya.
.
.
.
.Sesampainya di rumah, aku segera masuk.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Kamu kenapa kok pucet gitu mukanya?"
"Biasa, Bu. perut aku masuk angin. Tadi pagi gak sarapan nasi."
"Kebiasaan deh kamu. Ya udah ganti baju, sholat, abis itu istirahat. Nanti Ibu bikinin bubur"
"Iya, Bu."
Aku segera bersih bersih dan istirahat.
Karena lelah dan masih lemah, aku kembali tidur.Hingga aku terbangun, melihat jam menunjukkan pukul 16.00.
Segera bangkit, mandi, dan sholat.Setelah selesai sholat, Ibu masuk.
"Nih bubur nya, dimakan. Ini juga ada kain sama air hangat. Nanti d kompres tuh perutnya. Jangan beraktivitas dulu, istirahat dikamar aja."
"Iya, terima kasih, Bu."
Aku segera melakukan apa yang diperintah Ibu. Dan alhamdulillah udah baikan.
Tapi tetep aja masih lemes. Hingga akhirnya aku memilih menetap di kamar hingga waktu maghrib. Segera sholat dan mengaji.Setelah selesai mengaji, aku keluar kamar. Terlihat Azzam baru pulang dari masjid bersama Ayah.
"Assalamualaikum"
"Assalamualaikum"
Ucap Azzam dan Ayah bersamaan
"Waalaikumsalam"
Aku menjawab salam, karna Ibu lagi di dapur.
"Udah enakan?" Tanya Ayah.
"Alhamdulillah udah, Yah. Cuma gak enak makan"
"Ya udah, sering minum air hangat dan istirahat ya."
"Iya, Yah"
Ayah segera masuk kamar.
"Zam?"
Aku memanggil Azzam yang ada di kamar.
"Ya?"
Azzam segera keluar kamar."Boleh minta tolong, gak?"
"Apa?"
"Tolong tuliskan catatan ini. Tadi kan aku gak ikut belajar, dan ini catatan materinya, yaa"
Aku memberikan dua buku catatan.
"Ck. Iya iya."
"Makasih Zam Zam"
"Hmm"
.
.
.
.Aku sedang menonton tv dan Azzam lagi nulis catatan. Uhuyy, senang nya dalam hati, bila bersuami dua.
Eh.
'Assalamualaikum'
Terdengar suara orang mengucap salam"Waalaikumsalam"
"Waalaikumsalam"
Aku dan Azzam menjawab bersamaan.
"Biar aku aja yang buka pintunya" Kata Azzam.
Tak lama Azzam kembali
"Tuh ada yang nyariin kamu""Siapa?"
"Liat aja sendiri"
Azzam masuk ke kamar dengan membawa buku catatan tadi."Kira kira siapa, ya."
. . . .
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Sepupu [END]
Romance_ Kamu saling mencintai, tapi bukan 'tuk saling memiliki. _ •Begitu kata Sang Takdir Ini kisah Ku, kisah lika-liku cintaku yang mungkin berakhir luka. Dia yang tak pernah mau menatap, atau aku yang terlalu berharap? Tapi, aku berharap takdir merestu...