Drama 20

48 29 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

💦💦💦

. . .

"Kok, muka Sisi kusut gitu?"

Pertanyaan Azzam yang menurutku tak seharusnya ku jawab. Seharusnya dia peka. Tapi nyatanya tidak. Sebel.

Gimana nggak sebel coba? Dari tadi dia dikerumuni mulu sama cewek. Sampe ada yang ngasih bunga, coklat, atau surat. Dan dia bukannya marah, malah senyum.

Dasar buaya.

Azzam masih berceloteh tidak jelas padaku.
"Si, tau nggak bedanya cincin sama kamu?"

Aku masih diam sambil berjalan lurus. Sedangkan Azzam masih terus mengikuti dibelakang ku.

"Kalau cincin melekat di jari, kalau kamu melekat di hati aku." Azzam kembali melanjutkan ocehannya meski tak kutanggapi.

Aku berjalan menuju tempat Riri berada. Tapi lagi-lagi Azzam berbuat tingkah.

"Duh, Si. Sakit." Azzam berhenti berjalan seraya memegang dadanya.

Aku berbalik lalu mendekatinya. "Sakit kenapa?"

"Dadaku kok sesak, ya?" Azzam memegangi dadanya sambil meringis. Seolah-olah memang sangat sakit.

"Kenapa?" Aku bertanya panik.

"Karena separuh nafasku ada di kamu." Kata Azzam dengan santainya lalu pergi menuju dimana motornya berada, tanpa memperdulikan rasa cemas ku.

"Asem, tuh, anak." Aku mendengus kesal.
.

.

.

.

Malam ini, aku membantu Ibu memasak di Dapur untuk makan malam. Ya, walau hanya membantu mengupas bawang. Tapi tetep membantu loh, ya.

"Bu, tau, nggak?" Aku bertanya pada Ibu yang sedang menyiangi bayam.

"Enggak." Jawab Ibu.

"Astaghfirullah." Aku beristighfar.

Kenapa Istighfar? Ya, nggak apa-apa, sih. Biar dapat pahala aja.

"Ya, kan, Ibu emang nggak tau." Kata Ibu dengan sok bener.

"Ya, makanya ini mau dikasih tau."

"Apa, emangnya?"

"Si Azzam, Bu. Masa dia deket banget sama cewek-cewek." Aku memulai gosip.

"Deket maksudnya?" Ibu berhenti dari aktivitasnya lalu memandang ke arahku. Nampaknya, beliau mulai tertarik dengan gosipku.

"Iya, cewek-cewek itu ngerumunin dia, ada yang ngasih coklat juga. Tapi dia nggak marah. Malah cuma senyum, doang. Kan, aneh. Keknya dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan."

Aku berusaha mengompori Ibu.

"Kenapa dia dikerumuni?" Tanya Ibu kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Ya, iyalah. Dia, tuh, diidolain sama semua orang di Sekolah. Terutama cewek. Apalagi tadi dia dan timnya memenangkan pertandingan basket. Tambah kagum, deh."

"Wah, malah bagus, dong. Dia hebat. Masalah dia senyum, dia berarti tidak sombong. Dan menghargai orang. Duh, good boy, tuh, bocah."
Kata Ibu dengan antusias.

Haa?

.
.
.
.

Setelah selesai makan malam, kami belajar bersama-sama. Sambil aku memperhatikan Azzam yang menjelaskan beberapa soal yang aku tak paham.

Masih sebel, sih, sebenarnya. Tapi gimana lagi. Aku butuh banget soalnya.

Azzam duduk di sofa sedangkan aku lesehan dilantai tak jauh dari Azzam.

Saat asik mengerjakan soal, Azzam menyodorkan selembar kertas yang bertuliskan...

'Kamu itu seperti kalsium, nitrogen, titanium dan kalium.'

Aku membacanya lalu bertanya. "Maksudnya, Zam?"

"Coba kamu cari simbol dari senyawa itu."

Aku berpikir sebentar. "Ca-N-Ti-K."  Aku menuliskan itu dikertas lalu menunjukkan nya pada Azzam.

"Iya, kamu cantik." Kata Azzam dengan senyum tipis.

"Mau belajar, apa gombal, heh?" tanya ku jengah, jujur saja baru kali ini nemu sepupu model sangklek begini, mana bikin baper pula.

"Saya mau belajar kok, Si. Tapi bukan belajar seperti ini."

"Trus mau belajar apa?"

"Belajar menjadi calon suami yang baik buat kamu."

Idih.

Beberapa menit kemudian, kami selesai.

"Si, mau tukaran pena, nggak?" Azzam menyodorkan pena berwarna hitam kearah ku.

"Nggaklah, ngapain." Aku menolak tawaran Azzam.

Azzam kembali memasukkan penanya ke tas sambil berkata, "Yaudah, kalau nggak mau tukaran pena. Tukaran tulang aja, yuk." Azzam berkata dengan semangat.

Aku menautkan alis

"Aku jadi tulang punggungmu, kamu jadi tulang rusukku." Azzam kembali melanjutkan perkataannya dengan cengengesan

"Eaaaak!"
.
.
.

To be continued...

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang