Drama 21

44 29 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

🌻🌻🌻

. . .

Hari ini kami berangkat sekolah seperti biasa.

Pelajaran pertama diisi oleh Pak Alif. Selama pelajaran berlangsung, suasana juga aman damai dan tentram.

Pak Alif tak seperti biasanya yang sedikit banyak tingkah. Masih teringat nama drakor yang disebutkan waktu itu. Masalahnya, tuh, dia yang salah tapi ngeyel.

Pokoknya kalau ingat itu, aku kesel banget.

"Silvanna? Ngapain nyoretin buku?" Teguran dari Pak Alif membuyarkan lamunan ku. Gara-gara kesel sama pak Alif, aku jadi nggak sadar nyoretin buku.

"Enggak apa-apa, pak." Aku menjawab sambil meletakkan pena yang sedari tadi ku pegang lalu menutup buku yang penuh coretan.

"Kalau nggak apa-apa, ngapain nyoretin buku." Kini, pak Alif berjalan mendekat.

Duh, baru aja sedikit seneng karna pak Alif nggak banyak tingkah. Eh, sekarang mulai tingkahnya.

"Ngelukis, Pak." Aku mulai malas menjawab.

Pak Alif meraih buku ku, lalu membuka halaman paling belakang.

"Ngelukis apa bentuknya begitu?"

"Abstrak."

Pak Alif melihat kearah coretan ku.

"Begitu bentuk abstrak?" Pak Alif bertanya sambil menautkan alis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Begitu bentuk abstrak?" Pak Alif bertanya sambil menautkan alis.

"Iya. Kalau bentuknya begini, itu cintaku ke bapak." Aku membuat bentuk hati dengan ke dua tangan.

Sempat ku kulihat pak Alif senyum tapi tak berbicara. Pak Alif langsung berbalik menuju mejanya kembali.

Skakmat.

Baper keknya dia.

Haha.

.
.
.
.

Istirahat tiba, kami ke Kantin. Tak lama, Rafael dan Yoga menyusul.

"Hay." Sapa mereka berdua kepada kami.

"Hay, juga." Riri membalas sapaan mereka.

Sedangkan aku hanya tersenyum simpul.

Mereka duduk dihadapan kami.

"Tumben?" Aku bertanya pada Rafael dan Yoga.

"Tumben apanya? Kan, ini Kantin. Bebas, kan, mau kapan datang." Rafael menjawab.

"Maksudku, nggak biasanya kalian duduk disini."

"Iya, kan ada yang ulang tahun, jadi kita mau makan bar-"

Belum sempat Yoga menyelesaikan ucapannya, Rafael menutup mulut Yoga.

"Apaan, sih, El? Bau tau tangan, Lo."
Yoga melepaskan tangan Rafael dari mulutnya.

Kini, Rafael beralih memandang kami dengan senyum canggung.

"Siapa yang ulang tahun?" Aku bertanya heran.

"Astaghfirullah! Kamu nggak tau?!" Riri berteriak ke arahku.

Aku menggeleng.

"Ya, dirimu, Sisi. Masa lupa? Padahal niatnya pengen di traktir tadi. Tapi malah lupa." Riri berkata dengan lesu.

"Eh, iya, ya." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Serius, lupa.

"Ya udah, enggak apa-apa. Biar aku yang traktir." Rafael menengahi.

"Serius, El?" Riri menyambut dengan semangat.

"Serius." Jawab Rafael dengan yakin.

"Makasih, ya, El." Aku merasa bersalah. Bisa-bisanya aku lupa.

"Sama-sama." Rafael membalas dengan senyuman.

.
.
.
.

Aku rebahan di Kamar sambil mengingat kejadian di Kantin tadi. Malu, sih, kalau ingat kejadian itu. Bisa-bisanya aku lupa sama ulang tahun sendiri.

Aku keluar kamar, ku dengar ada suara orang mengobrol. Dan, benar. Ada Azzam dan Ayah yang duduk di ruang keluarga.

"Si, Sini." Ayah memanggil.

Aku berjalan kearah mereka lalu duduk di samping kiri Ayah.

"Ada apa, Yah?"

"Nih." Ayah menyodorkan paper bag.

"Apa ini?"

"Buka aja."

Aku membukanya dan tercengang melihat isinya. Gamis berwarna dusty pink sepaket dengan hijabnya. Gemoy banget.

"Untuk siapa, Yah?" Aku bertanya.

"Ya, untuk kamu, lah."

"Dari siapa?"

"Tuh," Ayah menunjuk arah depan dengan dagunya.

"Azzam?" Aku bertanya  pada Ayah untuk meyakinkan kalau benar Azzam yang memberi.

"Iya." Jawab Ayah.

"Makasih, Zam."

"Sama-sama." Azzam tersenyum simpul.

"Dalam rangka apa ngasih aku beginian?"

"Ulang tahun kamu."

"Ih, kok bisa ingat?"

"Emang kaya kamu, lupa."

Bukan Azzam yang menjawab, melainkan Ibu yang datang dari arah dapur membawa empat cangkir teh hangat dan juga beberapa potong kue suprise dari Ayah tadi sore.

"Lupa?" Azzam bertanya ke arah ku.

"Iya, Sisi bisa-bisanya lupa sama ulang tahun sendiri. Tapi untung, sih, dia ditraktir." Jawab Ibu yang ikut duduk di samping kanan Ayah.

"Ditraktir sama siapa?" Azzam bertanya lagi padaku.

"Rafael." Aku menjawab pertanyaan Azzam.

...

To be continued...

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang