Drama 14

52 36 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

💦💦💦

. . .

Bulan bersinar terang, ditemani bintang yang indah. Cuaca sangat cerah. Tapi tak secerah hatiku. Aku masih kepikiran ucapan Azzam tadi. Apa dia serius? Atau hanya prank seperti pak Alif.

Huh, kebanyakan laki-laki memang hanya bisa memberi harapan. Datang hanya penasaran. Lalu, setelah puas ditinggalkan.

Apa mungkin aku yang terlalu berharap? Bisa jadi, sih.

Pokoknya setelah ini aku nggak mau berharap pada siapapun lagi. Sakit.

Tak lama terdengar langkah kaki dari belakang yang mendekat. Duh, siapa ini? Jangan jangan penculik. Kalau penculik nya, kek, mas Ji Chang-wook mau aja, sih. Malah aku akan menyerahkan diri duluan.

Segera ku menoleh ke arah belakang.

Hmm, ternyata Ji Chang-wook, kw. Alias Azzam.

"Ngapain keluar malam gini?" Azzam bertanya.

"Enggak apa-apa."

Hening beberapa saat.

Aku memutuskan untuk berterus terang saja pada Azzam.

"Zam?"

"Hm."

"Menurut kamu, Mas Bian serius, nggak?"

"Serius ngapain?"

"Serius lamar aku, lah."

"Emang dia lamar kamu? Kapan?"

"Beberapa hari lalu, waktu datang kerumah."

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan gitu?"

"Kemarin, aku denger Mas Bian ngomong, 'in syaa Allah Minggu depan.' Terus dijawab sama Ayah, 'mudah mudahan lancar, ya..."

Aku menceritakan sesuai apa yang ku dengar dari pembicaraan Ayah dan Mas Bian kemarin.

Azzam diam sebentar. Lalu tertawa.

"Kamu kenapa ketawa?"
Kesel banget. Ngomong serius, masa dia ketawa. Aneh.

"Jadi gara gara ini, kamu kemarin nanya kalau misal kamu dilamar, terus karena ini kamu selama ini kelihatan sedih?"

"Iya."
Aku mengangguk tak paham.

"Kepedean kamu, Si."

"Lah?"

"Mas Bian kemarin ke rumah itu minta bantuan Ayah mau buat acara syukuran dirumah dia. Dan acara nya lusa."

"Haa?!"

Nah, kan. Aku yang salah. Terlalu berharap sih.

"Hahaha."

Azzam masih terus tertawa sambil masuk kerumah.

Asem.

.
.
.
.

Tiba waktu jam istirahat aku dan Riri ke Kantin.

Suasana Kantin kali ini terlihat ramai dan sedikit ribut. Kebanyakan kumpulan cewek yang bersorak gembira, terutama adik kelas. Ntah apa yang mereka gosipkan.

Karna penasaran aku bertanya pada mereka.

"Lagi ngomongin apaan, sih? Kelihatannya seru banget?" Aku duduk di hadapan mereka disusul Riri yang ikut duduk disamping ku.

"Eh, kak Sisi. Ini loh, kami ngomongin kakak kelas yang damage nya bisa rontokin tulang sumsum."

"Haa?! Begal maksudnya? Kok, bisa sampe rontokin tulang sumsum?"
Riri tiba tiba berdiri dan menggebrak meja. Suasana tiba-tiba diam.

Aku melirik sekitar dengan rasa malu dengan tingkah bestie ku ini.

Namun, itu hanya sebentar. Karena mereka terlihat tak peduli dan kembali melakukan aktivitas masing-masing.

Segera ku tarik Riri untuk duduk kembali.

"Hehe, maaf."
Riri meminta maaf dengan senyum malu tai kucing.

"Udah lanjutin. Emang, siapa kakak kelas nya?"
Aku kembali membahas topik yang sempat tertunda.

"Omaygaat! Kakak nggak pernah tau sosok kak Azzam, ya? Cowok populer disekolah kita. Emang, sih, kak Azzam baru pindah beberapa minggu lalu. Tapi sosoknya langsung dikenal banyak orang. Terutama cewek."
Adik kelas yang kuketahui bernama Amel, menceritakan tentang Azzam dengan semangat.

Dih, kalau Azzam denger ini, pasti kupingnya terbang.

"Kak Azzam Al Farizqi, ya?!"
Kali ini gantian Riri yang bersemangat.

Aku, kok, nggak ada semangat-semangatnya, ya?

Aku memijat kening pelan. Pusing.

"Iya, kakak tau?"
Amel bertanya untuk meyakinkan.

"Tau, dong. Emang, bener, sih. Dia damagenya parah. Pinter dibidang akademik, juga aktif di bidang non akademik, udah gitu dia agamis banget. Idaman, deh."
Riri menceritakan bagaimana sosok Azzam. Suer, dia semangat banget, kek, dapat sumbangan sembako.

"Serius, kak?"

"Yang bener, kak?"

"Ih, beneran?"

Adik kelas yang lainnya sekarang malah ikutan nimbrung. Mereka bertanya seolah meyakinkan apa yang mereka dengar.

"Ih, serius."
Riri meyakinkan mereka.

"Oh, ya, kakak tau, nggak? Kalau minggu depan, sekolah kita tanding basket dengan sekolah lain. Dan kak Azzam ikut. Pasti pesonanya makin terpancar, deh. Hihi."

"Hah? Beneran? Kuy lah nonton. Buat kasih semangat." Ujar Riri dengan penuh semangat.

"Oke, kak."
Kompak adik kelas menyetujui ajakan Riri.

"Udah, yuk, ke kelas. Waktu istirahat habis cuma untuk gosip nggak jelas."
Aku menarik tangan Riri.

"Kamu ikut nonton, kan, Si?"

"Enggak!"

"Kenapa? Kan ada Azzam disana. Kita harus semangatin dia."

Aku? Nyemangati Azzam?
Nggak mungkin, shaay. Haha

"Ish, jadi suporter yang profesional, dong."
Aku bersungut kesal.

"Iya, iya. Tapi kamu ikut, lah. Kan dukung tim sekolah kita juga."

"Liat nanti, deh, ya."

Kami mengakhiri obrolan ketika masuk ke kelas.

.
.
.
.

Malam ini kami berkumpul di ruang keluarga. Ibu  memulai obrolan.

"Terus gimana acaranya Bian, jadi?"

"Jadi. Besok  bantuin Ibu nya Bian, ya." Kata Ayah.

"Oke." Ibu menjawab.

"Acara apa, Yah?"
Aku bertanya karena memang aku tak tahu Mas Bian akan mengadakan acara untuk apa.

"Sedekah. Syukuran juga karna ia sudah lulus jadi dokter." Ayah memberi penjelasan.

"Ooh."

Aku melihat ke arah Azzam yang sedang senyum tak jelas. Pasti dia menertawakan ku yang ke-geeran karna mengira Mas Bian mau melamar ku.

Ish.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayah dan Ibu beranjak pergi ke kamar. Sedang aku masih fokus menonton televisi.

Azzam terlihat sibuk dengan ponselnya.

Ingat dengan gosip adik kelas tadi, aku segera bertanya pada Azzam.

"Zam..."

. . .

To be continued

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang