Drama 18

43 32 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

💦💦💦

. . .

Aku masih ngambek didalam Kamar. Biarin aja Azzam duduk sendiri di ruang tamu.

Tak lama terdengar Ayah menyapa Azzam.  Lalu mereka terdengar mengobrol santai.

Ntah pukul berapa aku tertidur, yang jelas sekarang sudah pukul lima pagi. Aku bangkit lalu segera mengambil air wudhu untuk shalat.

Setelah selesai aku membantu Mama masak di Dapur. Kebetulan ini memang hari minggu.

Aku berniat memasak lauk simpel. Yaitu...

Oseng Kacang Pendek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Oseng Kacang Pendek

Kenapa kacang pendek?

Kenapa nggak kacang panjang?

Lah, itu  bentuk kacangnya pendek atau panjang?

Pendek, kan?

Ya udah, nggak usah protes.

Wahai calon suamiku, mungkin hari ini oseng kacang pendek dulu, esok akan ku oseng-kan hati ayam untukmu. Hati sapi, bahkan hati ku juga boleh. Karena setelah mencintaimu, aku akan memberikan hatiku hanya untukmu.

Terserah, mau diapain. Di oseng juga nggak apa-apa.

Setelah selesai memasak, aku segera mandi. Menghilangkan segala jenis bau.

Terutama bau-bau ketidakpastian.

Selesai mandi, Ibu menyuruhku mengantarkan lauk untuk Azzam.

Males banget.

"Cepet. Kalau nggak mau, Mama coret kamu dari daftar kartu keluarga." Ibu berkata dengan nada mengancam.

"Iya, iya."

Karna tak mau di coret dari kartu keluarga, akhirnya mau tak mau aku mengantarkan lauk untuk Azzam.

Hari ini, aku memakai gamis berwarna latte dengan motif bunga Daisy. Dipadupadankan dengan hijab syar'i berwarna senada.

Aku berjalan perlahan, melangkahkan kaki dengan sedikit anggun. Kali aja nanti ketemu ustadz dijalan. Astaghfirullah.

Niatnya sih pengen anggun, tapi kok malah ngerasa kek belut sawah.

Akhirnya aku berjalan biasa saja.

Sampai di Kosan Azzam, aku segera mengetuk pintu.

"Tok tok tok. Zam? Azzam?"

Krieett.

Pintu terbuka, menampakkan sosok Azzam masih menggunakan baju Koko dan sarung, dengan rambut sedikit berantakan.

"Nih. Lauk dari Ibu." Aku menyodorkan lauk itu tepat didepan wajahnya. Males aku lihat dia.

"Makasih. Oh, ya, maaf, tadi aku ketiduran abis sholat subuh." Azzam menerima lauk itu sambil menjelaskan tanpa ditanya.

"Nggak nanya." Aku langsung menjawab ketus
lalu langsung berbalik pulang.

Apa maksudnya dia menjawab tanpa ditanya? Aneh.

Ketika lagi asik berjalan sambil menendang kerikil jalanan, tak sengaja aku berpapasan dengan Mas Bian, dokter muda yang membuat ku sedikit gila.

Sedikit, loh, ya. Enggak banyak.

Kami saling melempar batu. Eh, salah. Melempar senyum maksudnya.

Aku berusaha menyapa Mas Bian.

"Mau kemana, Mas?"

"Enggak kemana-mana." Jawab Mas Bian lalu berhenti tak jauh dari hadapan ku.

"Fiks, jodoh."

"Haa?"

"Iya, jodoh kan nggak akan kemana."

Jiaaah. Sa ae lu, Maemunah.

Ku lihat Mas Bian tersenyum. Senyumnya sangat manis. Gula se-pabrik diborong kali.

"Kamu sendiri dari mana?" Kali ini Mas Mas Bian yang bertanya.

"Ini, ngantar lauk untuk Azzam. Sebenarnya males, sih, keluar. Tapi takut dikeluarin dari Kartu keluarga."

Aku tertawa malu. Untung nggak malu maluin.

"Oh, sama, deh, kalau gitu. Saya sebenernya juga males nganter orderan dari bu Minah. Karena ada anaknya yang centil, si Juleha. Tapi, saya takut dikeluarin dari Kartu keluarga."

Mas Bian menjelaskan dengan nada pelan. Malu mungkin.

"Nah, pas kalau gitu." Aku berkata antusias.

"Pas, maksudnya?"

"Iya, pas. Saya dan Mas Bian sama sama dikeluarin dari kartu keluarga. Gimana, kalau setelah dikeluarin, kita buat kartu keluarga bareng?" Aku berkata dengan semangat. Persis seperti semangat para istri ketika  mendapat bansos.

"Kuy, lah." Kata Mas Bian sambil berlalu.

"Haa?"

Serius? Aku melongo tak percaya

Ah, bercanda kali. Aku langsung menepuk jidat.

Halah. pak Dokter memang bisa buat anak orang melayang.

.
.
.
.

Sore harinya, ketika aku pulang dari warung, terlihat Azzam berdiri dihalaman. Ngapain, tuh, bocah.

Aku berniat langsung masuk, tetapi seruannya menghentikan langkahku.

"Si."

Mau tak mau aku berhenti dan berbalik menghadapnya.

"Ada apa?"

"Aku minta maaf, soal kemarin. Bukan niat nggak mau bantuin kamu. Tapi..."

"Udahlah, nggak usah dibahas."

"Hmm, oke. Eh, tapi besok kamu nonton pertandingan basket, kan? Please, ya."

"Lihat besok." Ucap ku ketus. Lalu masuk ke rumah.

.
.
.
.

Pagi hari aku berangkat sekolah sedikit terlambat. Kulihat Azzam sepertinya juga sudah berangkat, karena terlihat dari pintu kosan-nya yang terkunci.

Aku berangkat diantar Ayah. Sesampainya di gerbang sekolah, Ayah menghentikan sepeda motornya. Aku mencium tangan Ayah, lalu segera masuk ke kelas.

Tapi langkahku terhenti karena panggilan Ayah.

"Si."

"Ya?" Aku berbalik mendekati Ayah.

"Nanti, pulangnya sama siapa?"

"Biasa, sama Riri."

"Oke, tapi tunggu Azzam juga, ya. Kalian pulang bareng Azzam."

"Kenapa, Yah?"

"Ayah khawatir kalian di cubit sama brandal tikungan di sana."

"Astaghfirullah, cuma dicubit doang, Yah. Kalau dia nyubit, tampar aja gantian.

"Ya, kan, Ayah khawatir." Kata Ayah dengan nada dibuat khawatir.

Kalau tak ku 'iyakan' ntar, aku nggak masuk-masuk kelas, nih.

"Iya deh." Ucap ku pasrah.

"Nah, good girl." Jawab Ayah tersenyum sambil menstarter motornya.

"Sejak kapan Ayah belajar bahasa Inggris?" Aku berkata heran.

"Sejak nonton power rengers." Jawab Ayah lalu melajukan motornya.

Haa?

. . .

To be continued...

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang