Happy reading-----------------------------------------------------------------
Hari Minggu, pukul sepuluh. Aku baru saja siap beberes rumah. Niat hati ingin istirahat, tapi dari teras terdengar jeritan seorang bocah.
Aku teringat, Chiko, anak tetangga berumur dua tahun yang dititipkan padaku tadi pagi. Orang tuanya sedang pergi berbelanja ke pasar. Berhubung aku libur, ku kira tak masalah jika Chiko dititipkan padaku. Mengingat aku suka dengan anak kecil.
Aku melangkah cepat ke teras. Dan melihat dua bocah sedang berebut mobil-mobilan. Chiko dan Arsa, bocah berumur lima tahun.
Aku segera melerai mereka. Mengambil mobil-mobilan dan menggendong Chiko. Lalu aku berbicara lembut pada Arsa.
"Maaf, ya, Arsa. Mobil-mobilan nya punya Chiko. Boleh main bareng, tapi jangn direbut."
Bukannya mengerti, anak itu malah menangis dan pulang sambil berteriak dijalan.
"Bundaaaa, Kak Sisi Jahattt. Mainan Arsa direbut!""Lah, bocah?" Aku mengelus dada melihat tingkah bocah ompong tersebut.
Untung saja tangisan Chiko sudah reda, jadi aku tak semakin emosi.
Tak lama, Azzam datang membawa mangkok. Ku tebak, pasti makanan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Si, ini, bubur." Azzam menyodorkan mangkok tersebut.
Aku menerimanya, "terimakasih."
"Sama-sama."
"Eh, iya, Zam. Titip Chiko dulu yaa." Aku menyerahkan Chiko pada Azzam.
"Oke."
Aku melangkah ke dapur berniat menyalin bubur ke mangkok lain. Dan mencuci mangkok Azzam.
Setelah selesai, aku kembali ke teras.
Pemandangan menyejukkan aku saksikan didepan. Azzam tengah bermain dengan Chiko.
Suami idaman. Ekhem.
Aku duduk dan tersenyum melihat tingkah lucu Chiko yang asik memainkan mobil-mobilan nya. Hingga aku beralih menatap Azzam yang ternyata sedang tersenyum menatapku.
"Katanya, senyum itu ibadah ya?" Azzam bertanya padaku sambil tersenyum.
Aku mengangguk pelan tak mengerti.
"Kalau gitu, kita senyum bareng kuy. Biar bisa ibadah bareng."
Aku tertawa pelan. Berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati sudah jedag jedug.
Dasar.
Bikin repot hati saja.
.....
Malam harinya, ketika kami sedang mengobrol diruang keluarga, Azzam datang dengan keadaan mata yang basah. Aku sudah menebak jika ia habis menangis.
Melihat kedatangan Azzam dengan kondisi yang tidak baik, Ayah langsung berdiri.
"Kamu kenapa, Zam? Sini duduk dulu, cerita."Kami menunggu Azzam sampai ia siap untuk bercerita.
"Mama, Om. Mama kecelakaan. Kata teman Mama tadi, kondisinya kritis."
"Astaghfirullah."
Kami, kaget mendengar berita tersebut.
"Terus, Papa kamu?" Ibu bertanya.
"Papa di telfon nggak aktif, Om."
Mendengar hal itu, kami terdiam. Bingung harus berbuat apa. Tak lama kemudian, terdengar dering telfon Ayah. Aku tak sempat melihat siapa yang menelfon, karna Ayah segera menjauh.
Ayah mengangkat nya, "Ya, hallo?"
"..."
"Oh, yasudah. Jika itu yang terbaik."
"..."
"Iya, oke oke."
Ayah menutup telfon dan mendekat ke arah kami.
"Tadi Om Firman menelfon, katanya ia akan menyusul ke Singapura. Melihat kondisi Mama kamu, Zam. Sekaligus ia mengecek kenapa nomor Papa kamu kenapa tak aktif."
Om Firman adalah adik dari Papa Azzam.
"Azzam ikut, Om." Azzam berseru.
Ayah menatap kami sejenak secara bergantian.
"Baiklah, nanti Om akan izin ke sekolah kamu."Akhirnya, malam itu kami disibukkan dengan membantu Azzam berkemas. Dan malam itu Azzam pergi bersama Om Firman ke Singapura.
.....
Aku berangkat sekolah sedikit lesu. Kasihan dengan Azzam, jauh dari orang tua. Dan keadaan orangtuanya sedang tidak baik-baik saja.
Eh, atau aku lesu karna kangen ya. Uhuk.
Saat jam istirahat, aku memilih pergi ke perpustakaan. Tak selera makan.
Lima menit kemudian, Rafael datang. Membawa sekotak makanan.
"Nih." Ia menyodorkan kotak tersebut kearah ku.
"Buat aku?"
"Bukan. Buat calon istri."
"Loh? Kenapa ngasihnya ke aku?"
Rafael tak menjawab hanya tersenyum penuh arti.
Aku berpikir, atau aku yang dimaksud calon istri? Eh eh.
.....
Pulang sekolah, aku mampir kepemakaman. Lalu menuju ke batu nisan yang bertuliskan nama kakak.
Belum sampai ke tempat tujuan, aku melihat punggung seorang laki-laki, ia sedang jongkok memegang batu nisan.
Dia, Mas Bian.
Aku mendekat kearahnya perlahan.
"Mas?"
Mas Bian terkejut.
"Astaghfirullah."
Aku juga kaget. "Kenapa, sih, Mas? Kek lihat hantu aja."
"Iya, kamu tuh hantu."
"Haa?"
"Iya, karna kamu gentayangan di pikiran aku."
Aku tersenyum.
Astaghfirullah, nih om om. Nggak romantis amat. Masa ngegombal di kuburan. Hadeh.
"Mas Bian ngapain kesini?"
"Mojok."
"Yee, Mas Bian. Kan aku cuma nanya." Aku mencebikkan bibir. "Lagian, mojok kok sama mayat. Tampang elit, jodoh sulit."
Aku dan Mas Bian tertawa bersama.
"Kamu tuh, mirip sama kakak kamu tau nggak?"
"Apa karna kami mirip, makanya Mas Bian sayang sama aku?"
"Ya bukan karna itu juga. Tapi Mas udah anggap kamu seperti adik sendiri." Mas Bian tersenyum lembut.
"Yaudah, Mas permisi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Aku menjawab pelan.
"Cuma dianggap adik? Calon istri nggak bisa?"
Aku berbicara sendiri, lalu menatap makam dihadapan ku.
"Kak, izin nikung Mas Bian, ya."
Aku tertawa pelan. Lalu segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Hawanya agak horor." Aku berkata pelan sambil memeluk tubuh.
"Lebih horor sama aura-aura pelakor." Tiba-tiba aku mendengar suara orang berbicara.
Entah perasaan ku saja atau bagaimana, entahlah. Lalu tak lama terdengar suara orang tertawa.
"Kikikiikkk."
Lah semprul. Ternyata tuh setan yang ngomong.
.
.
.To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Sepupu [END]
Romance_ Kamu saling mencintai, tapi bukan 'tuk saling memiliki. _ •Begitu kata Sang Takdir Ini kisah Ku, kisah lika-liku cintaku yang mungkin berakhir luka. Dia yang tak pernah mau menatap, atau aku yang terlalu berharap? Tapi, aku berharap takdir merestu...