Drama 12

61 35 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

💦💦💦

. . . .

Aku berjalan ke ruang tamu. Disana terlihat Mas Bian dan Ayah duduk berbincang serius. Duh, ada apa ya. Kok, jadi deg degan.

Terdengar samar ucapan Mas Bian.
"Iya, rencananya Minggu depan."

Ayah kemudian menimpali. "Mudah-mudahan lancar, ya."

Setelahnya aku tak mendengar lagi, karna buru buru masuk ke kamar. Takut ketahuan kalau nguping.

"Duh, ada apa, ya. Kok jadi ser- seran. Apa jangan-jangan Mas Bian mau lamar aku? Oh no. Aku masih SMA, Mas."

Aku menutup wajahku dengan selimut. Takut, suer. Aku belum bisa masak, belum rajin beres beres. Duh, gimana ini.

. . . .

Pagi ini kami sarapan bersama. Tapi jujur aku nggak ada selera. Masih teringat percakapan Ayah dan Mas Bian kemarin. Aku takut.

Aku menatap Ayah dan Ibu bergantian. Aku jadi sedih. Tak sanggup aku meninggalkan mereka.

Tak lama Azzam datang, lalu duduk di seberang ku. Tepatnya disamping Ayah.

Ia memandang ku kemudian bertanya, "Kamu kenapa, Si? Kok sedih gitu."

"Ya sedih, lah. Siapa yang enggak sedih coba?"

"Sedih kenapa?" Ibu bertanya.

"Emang Ayah dan Ibu enggak sedih, gitu?"

Mereka kompak menggelengkan kepalanya. Tega amat mereka. Bisa bisanya anaknya mau dilamar sama orang malah enggak sedih.

Aku memandang tak percaya ke arah mereka.
"Ayah dan Ibu tega." Aku kesal lalu bangkit meninggalkan mereka.

. . . .

Dikelas aku sama sekali nggak fokus waktu pelajaran pak Alif. Guru yang mengajar mata pelajaran agama. Orangnya muda dan ganteng. Ia baru dua bulan mengajar.

Materi yang ia jelaskan masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Silvanna?!" Suara pak Alif memenuhi ruangan kelas.

"Iya, Pak." Aku pura pura fokus melihat kedepan, seolah olah mendengar pembahasan materi dengan baik dan benar.

"Silahkan jawab pertanyaan saya."

Duh, pak Alif bertanya apa, ya, tadi?

"Emm, maaf, Pak. Bapak tanya apa ya tadi?"

"Jelaskan tentang surah At-taubah."

"Emm, surah At-taubah..."

Krik krik...

Aku melihat kearah semua murid. Mereka semua pada liat kearah ku ternyata. Berasa artis yang mau konser.

Mereka pada nungguin jawaban ku keknya.

"Cieee, nungguin ya." Aku tertawa. Padahal gaje.

"Cepat, Si!" Bentak pak Alif.

Dih, suka banget ngegas. Galak amat.

"Jadi, surah At-taubah adalah surah yang yang tidak ada bismillah nya. Sedangkan cintaku pada pak Alif tidak ada duanya."

"Cieee...cuit cuit." Riuh seisi kelas menertawai.

Ku lihat pak Alif hanya tersenyum sekilas. Ciee, baper dia.

"Sudah!"

Seisi kelas terdiam.

"Kamu tadi denger nggak apa yang bapak jelaskan?"

Pak Alif bertanya sambil berjalan pelan ke arah ku.

"Enggak, Pak."

"Terus, kamu ngapain aja dari tadi?" Langkahnya berhenti tepat di depanku.

"Bengong. Liat bapak saya tuh terpesona. Udah ganteng, pinter, sabar. Paham agama pula. Bapak tipe menantu idaman Ayah saya, Pak."

"Si?! Bisa serius, nggak?!"

Wajah pak Alif semakin serius gaess.

"Saya lebih serius, Pak."

"Ikut saya sekarang."
Pak Alif memerintah lalu pergi.

"Kemana, Pak?"
Aku buru buru mengejar.

"Ke KUA."

Duh, piye Iki. Lamaran Mas Bian gimana? Masa aku terima semua. Kan perempuan enggak boleh bersuami dua apalagi tiga.

Aku pilih yang mana?

Tolong vote, gaes.

.
.
.
.

Sekarang aku dikantin bersama si barbarly, Riri.

Aku makan Bika Ambon yang katanya dari Medan. Kenapa namanya Bika Ambon, padahal dari Medan. Kenapa nggak Bika Medan?

Riri makan tahu bulat yang katanya digoreng dadakan. Mendadak banget gorengnya. Enggak pake rencana dulu gitu.

"Si."

"Hm."

"Kamu tadi kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Tadi di Kelas."

"Aku emangnya gimana?"

"Ya, bengong. Nggak fokus. Ngelantur."

Aku menghembuskan nafas.
"Aku sedih."

"Sedih kenapa?"

Aku mendekat kearah telinga Riri dan berbisik padanya.

"Hah?! Seriusan?"

Aku segera membekap mulut Riri yang kek toa masjid.

"Seriusan, Si?"

"Iya bener."

"Duh, aku jadi ikut sedih juga. Aku akan kehilangan sahabat aku."

Riri ikut sedih. Akhirnya kami sedih bareng.

Kalian nggak mau ikut sedih juga?

.
.
.
.

Malam telah tiba. Aku rebahan dikamar. Hatiku sedih, tapi tidak bingung lagi. Karna Alhamdulillah, satu masalah telah selesai. Ternyata pak Alif tidak jadi mengajak ku  ke KUA.

"Ikut saya sekarang."
Pak Alif memerintah lalu pergi.

"Kemana, Pak?"
Aku buru buru mengejar.

"Ke KUA."

. . .

To be continued...






Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang