Drama 30

90 32 4
                                    

...

Aku merebahkan diri ke kasur. Menatap langit-langit kamar dan menghembuskan nafas kasar.

Azzam lagi ngapain ya?

Oh iya, kemarin hal apa yang mau diobrolin.

Aku beranjak menuju meja belajar, dan mengambil benda pipih untuk menghubungi Azzam.

Tak lama Azzam segera mengangkat telfonnya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

"Ada apa, Si?"

"Nggak apa-apa. Cuma mau nanya, kemarin kamu mau ngobrol apa?"

Hening sejenak.

"Zam?"

"Sepertinya aku tidak pulang ke Indonesia lagi, Si."

"Loh, kenapa?"

"Aku harus merawat Mama sampai sembuh. Apalagi telfon Papa nggak diangkat. Dan nomornya nggak aktif. Sampai saat ini, Om Firman masih nyari keberadaan Papa, Si. Aku bingung."

Aku terdiam. Baru kali ini Azzam terlihat pasrah. Biasanya dia selalu ceria dengan tingkah onar nya. Aku ingin membantu, tapi bagaimana?

"Kamu yang  sabar ya, Zam. Mudah-mudahan Mama kamu cepat sembuh dan Papa kamu segera ketemu."

"Iya, Si, Terimakasih."

Belum sempat aku bertanya lagi, tapi tiba-tiba ponsel mati. Duh, habis baterai ternyata.

Aku masih penasaran, saat Mama Azzam kecelakaan, Papa Azzam kemana? Dan apakah dia tidak terlibat dalam kecelakaan itu. Lalu, sampai sekarang kemana Papa nya Azzam.

Duh, pusing.
.
.
.

'Kak, nanti mampir beli gulali ya, bentar.'

Aku memeluk kak Silvy dari belakang. Dagu ku letakkan pada pundaknya. Aku menatapnya dari samping, terlihat ia terlalu fokus menyetir motor.

'Kak?'

Lagi, aku memanggilnya. Baru dia menjawab. "Jangan lah, dek. Kan nggak boleh makan-makanan yang terlalu manis. Nanti makan puding aja ya, dirumah udah kakak buatkan. Pasti kamu suka."

Bukannya menurut, aku malah mengamuk diatas motor.

"Ih, nggak adil. Kemarin aku liat kakak dibelikan gulali sama Ayah."

"Iya, maaf. Kan, Sisi nggak boleh makan gulali."

"Nggak mau. Pokoknya aku mau gulali."

Aku mengamuk menggoncang tubuh kak Silvy.

"Eh, dek, jangan. Kakak lagi nyetir ini."

Tak peduli, aku terus mengguncang tubuh kak Silvy. Karna guncangan terlalu kuat, kami oleng ke tengah jalan. Lalu dari arah belakang aku mendengar suara kendaraan melaju kencang kearah kami.

'Brakkk.'

"Astaghfirullah."

Aku terbangun dengan keringat yang membasahi.

Mimpi itu lagi.

Sudah delapan tahun berlalu, mimpi itu terus datang. Membuatku semakin merasa bersalah pada kak Silvy.

Karna kecerobohan ku, kami mengalami kecelakaan. Dan kak Silvy menjadi korban. Aku salah.

Jantung ku berdetak lebih kencang. Aku takut.

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang