Drama 13

60 36 0
                                    

Happy reading ♥️

-----------------------------------------------------------------

💦💦💦

. . .

"Ikut saya sekarang."
Pak Alif memerintah lalu pergi.

"Kemana, Pak?"
Aku buru buru mengejar.

"Ke KUA."

Ternyata pak Alif masuk ke ruangannya. Aku berhenti didepan pintu. Langkah ku gamang.

Masuk nggak, ya. Masuk nggak, ya. Kalau masuk, takut timbul fitnah.

"Silvanna!"

Terdengar Pak Alif memanggil.

Aku segera masuk.

"Iya, Pak?"

"Ngapain berdiri didepan pintu?"

"Nunggu antrian, Pak."

Pak Alif menautkan alisnya.
"Antrian apa?"

"Kupon untuk mendapat kesempatan menjadi pendamping bapak. Eh."

"Ada-ada saja kamu. Sekolah dulu yang rajin. Biar jadi wanita cerdas. Karna madrasah pertama bagi anak adalah ibunya. Dan kecerdasan seorang anak menurun dari ibunya."

"Iya saya tau. Saya juga ingin menjadi Ibu yang cerdas, kok. Ibu dari anak-anak bapak tentunya."

Aku tersenyum tulus.

Tanpa menjawab, tiba-tiba pak Alif membanting sebuah buku.

"Bruk."

Aku kaget.
"Ada apa, ya, Pak?"

"Saya mau minta tolong sama kamu. Tolong, kamu buatkan kaligrafi ayat dari buku ini. Terserah ayat yang mana. Itu tugas dari sekolah keponakan saya. Kebetulan saya dan keluarga tidak ada yang bisa."

"Haa?"
Suer. Nggak paham aku, gaess. Bisa bisanya pak Alif, manggil aku cuma buat ini?

Mana tadi katanya mau ngajak ke KUA. Ternyata karna minta tolong?

Please, ngeprank-nya kurang briefing.

"Pak? Tadi, bapak ngajak saya katanya mau ke KUA. Ternyata bapak cuma mau minta tolong sama saya?"

"Iya. Lagian tadi saya cuma bercanda. Ya, kali saya mau ngajak kamu ke KUA. Saya bukan pedofil. Selera saya tuh, mbak Kim se-Jeong."

"Ooh, pemain  'Business Proporsional' ya, Pak?"

"Bukan. Pemain wedding Agreement."

"Mmm, bukannya..."

"Udah, udah. Ini tolong, ya. Minggu depan saya jemput ke rumah. Silahkan keluar."

Pak Alif menggeser buku itu ke arahku. Lalu dengan teganya mengusir diri ini.

Aku mengambil buku itu lalu melangkah keluar. Sambil berpikir.

"Bukannya 'Business Proporsional' ya? Eh, 'Business Properti' nggak, sih?".

.
.
.
.

Aku mengambil buku yang diberikan pak Alif tadi. Hmm, gimana cara buatnya? Kalau cuma tulisan ayat aja sih, aku bisa. Tapi ini kaligrafi. Duh, gimana nih.

"Oh, iya. Coba tanya Azzam aja kali, ya."

Aku bangkit dari tempat tidur dan segera mencari Azzam.

"Zam?"

"Azzaaam?"
Aku menaikkan volume suara.

"Yaaa?"
Terdengar suara Azzam dari dapur.

Kulihat Azzam sedang memotong kue. Kue dari mana tuh bocah?

Aku mendekati nya.

"Kue dari mana, Zam?"
Aku mencomot sepotong.

"Buat, dong."

"Emang kamu bisa?"

"Bisa lah. Ini buktinya."

"Hmm."
Aku menggigit kue itu. Enak, sih. Manis. Tapi bukan tipe saya. Tipe saya adalah? Eits, rahasia.

"Enak nggak?"

"Enak. Tapi kenapa kamu kasih pewarna hijau. Itu kan ada warna coklat, merah, sama ungu."

"Enggak apa-apa. Aku suka hijau."

"Kamu suka hijau? Kalau gitu aku juga suka hijau."

"Kenapa?"

"Karna makmum ngikutin imam nya. Jiaaah."

"Ish." Azzam pergi berlalu.

"Eh, eh, Zam."
Aku berlari mengejar Azzam.

"Hmm." Azzam duduk di ruang tv.

"Aku mau minta tolong."
Aku juga ikut duduk yang tak jauh dari nya.

"Apa? Soal kimia? Bukannya udah aku kerjain kemarin?"

"Dih, bukan. Itu, tolong buatkan kaligrafi."

Kali ini Azzam mengalihkan pandangannya ke arah ku.
"Kaligrafi? Kamu ada tugas kaligrafi?"

"Bukan. Tadi, pak Alif minta tolong ke aku. Katanya itu tugas keponakannya. Dan semua keluarga nya nggak ada yang bisa. Kebetulan aku juga enggak bisa. Hehe."
Aku tertawa malu.

"Orang tua tu bocah?"

"Keponakan nya yatim piatu, Zam. Masa kamu tega sama anak yatim piatu."

"Ck, iya iya."

"Makasih, Zam."

"Hm."

Lama kami saling diam. Sama sama melihat ke arah tv.

Tapi ingatanku kembali ke masalah lamaran Mas Bian.

"Zam."

"Hmm."

"Aku mau nanya."

"Nanya apa?"

Azzam tetap tak melihat ke arahku.

"Kalau aku nikah gimana?"

Kali ini baru Azzam menatapku. Tatapannya dingin.

"Kapan?"

"Ya, misal dalam waktu dekat."

"Sama siapa?"

"Sama laki laki, dong."

"Iya, siapa?"

"Misal, temen sekelas?"
Aku beralasan. Karna tak mungkin aku mengatakan kalau Mas Bian orangnya.

"Enggak akan pernah."

"Kok, nggak akan pernah?"

"Karna aku duluan yang akan melamar kamu."

Setelah mengatakan itu Azzam bangkit masuk kamar.

Haa? Apa katanya? Aku nggak mimpi kan?

Duh, masa iya aku mau nikah sama sepupu. Walau bukan sepupu kandung, sih. Tapi masa iya?

Setelah Pak Alif, maka terbitlah Azzam.

Nasib Mas Bian gimana?

Tapi, kalau bisa dua kenapa harus satu?

Eh.

. . .

To be continued...

Drama Sepupu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang