Bagian 23 (Yirmi üç)

104 38 5
                                    

"Seni adalah madu yang tersimpan dari jiwa manusia, berkumpul di sayap kesengsaraan dan penderitaan." - Theodore Dreiser
________

Sejak lama, aku selalu bertanya-tanya apa definisi dari sebuah kebetulan.. Apa itu takdir.. Dan apa perbedaan serta persamaan keduanya.

Pun sejak lama, aku selalu bertanya-tanya sejauh mana lagi muara dunia ini berakhir. Tenggelam di lautan? Atau menguap ke langit kembali menjadi air?
Kehidupanku. Hidupku. Alasan mengapa aku dilahirkan.

Di mana aku harus mencari semua jawaban itu?

Entah dunia yang sedang membodohiku atau memang aku terlalu bodoh untuk menangkap jawaban.

Entah mengapa pria itu datang.. Atau lebih tepatnya mengapa aku berani-beraninya mendatanginya. Mendatangi kepribadiannya yang gelap. Bahkan menyambut kemisteriusannya dengan jamuan selamat datang.

Kupikir ia ada untuk menjawab pertanyaanku. Tapi ternyata dia adalah kesalahan yang malah memenjarakanku pada penyesalan dan rasa bersalah. Kupikir bertemu dengannya adalah sebaik-baiknya takdir. Melupakan segalanya. Namun ternyata, jatuh cinta padanya adalah seburuk-buruknya tragedi.

Kupikir dibenci olehnya adalah kebetulan yang bisa diperbaiki. Melupakan segalanya. Namun nyatanya, membencinya adalah satu-satunya permasalahan yang aku sendiri tidak tahu cara memperbaikinya.

Aku ingat bahwa buku cerita ini tidak pernah kami buka bersama, jadi tanpa seizinnya pun aku harus menutup dan menghapus aksara-aksara menakutkan yang nyaris tertulis. Apakah ini jawaban dunia? Di sinilah alasanku dilahirkan?

Jika benar, katakan pada tuan-tuan kebetulan dan takdir itu jika hari-hari mereka kehilanganku akan sangat panjang. Suatu hari, tidak akan ada Anna yang sembuh atau pun Anna yang baru. Aku hanya perlu berhenti dari kehidupan yang melelahkan, lantas mengasingkan diri pada tempat yang akan menjadi pijakan terakhir di tanah-tanah Tuhan.

Bandara Soekarno Hatta, Jakarta

Menyobek kertas lalu membuang ke kotak sampah, Anna kembali berjalan menyusuri lobi bandara yang terlihat luas dan ramai. Detik demi detik semua indera di tubuhnya disambut oleh penampakan dan pemandangan asing yang berada di sekeliling tempatnya berpijak.

Anna mendongak, memerhatikan bendera merah putih yang menggantung gagah di atas pintu keluar. Jika ini kunjungan penelitian atau  liburan, dia pasti akan sangat antusias dapat melihat secara langsung bendera negara yang sejak lama ia kagumi. Negara yang bahkan sudah ia hafal sejarah merdeka dan perjuangannya.

Tapi dia ke sini bukan untuk berlibur. Anna bahkan sama sekali tidak tersenyum. Ia sendiri tidak yakin dopamin miliknya masih berfungsi ada atau tidak.

Wanita yang melangkah dengan kesendirian itu kembali melangkah, kali ini telinganya disambut dengan suara-suara berbahasa asing yang terdengar aneh, wajah-wajah pribumi yang terlihat sederhana benar-benar berpadu sempurna dengan gaya bicara itu.

Lalu di ujung keramaian, Anna menangkap siluet manusia yang ia kenal, seorang wanita yang sedang tersenyum, melambaikan tangan padanya.

Anna mendekat lalu berusaha sekuat mungkin balas tersenyum. Setelah berhenti berhadapan, tanpa aba-aba wanita itu membawakan tas punggung Anna.

ANNA KEYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang