Bagian 1 (Bir)

677 139 5
                                    

"People fall in love in mysterious ways."
______


Setelah setengah jam acara Seminar berlangsung, gedung aula itu kini senyap. Semua pasang mata tertuju pada sosok wanita cantik berpakaian formal di atas panggung.
Dialah bintang tamu Seminar hari ini.

Tak lama kemudian, satu pelajar laki-laki terpilih menjadi questioner pertama. Berdiri gagah, ia memegang Microphone, "Mohon maaf, apakah Abla Key mengetahui rumor beberapa akhir ini tentang hilangnya seorang Jurnalis?" Tanya pemuda itu penasaran.

(Abla: Kakak perempuan dalam bahasa Turkiye)

Wanita 'Key' itu terdiam beberapa saat. Sudah puluhan kali dia mendapat pertanyaan itu.

Turkiye memang kerap menduduki peringkat 3 teratas sebagai negara yang paling banyak memenjarakan wartawan selain Tiongkok dan Iran. Menurut laporan, di awal tahun 2000 kebebasan pers di Turkiye mengalami kemunduran seiring aturan ketat terbaru yang mendukung pemegang kuasa negara terhadap situs web dan media sosial.

Menurut salah satu persatuan Jurnalis berpengaruh selain Türkiye Gazeteciler Cemiyeti (The Turkish Journalists Association), Jurnalis yang pernah terbunuh di Turkiye berjumlah 77 orang. Sebanyak 19 jurnalis-cum-penulis dari 77 tersebut dilenyapkan pada masa-masa akhir keruntuhan kesultanan Utsmani.

Selain pertanyaan tersebut, dia juga beberapa kali mendapat pertanyaan; 'Sebagai wanita, kenapa kamu berani menjadi Jurnalis? Apa yang membuat kamu seberani itu?'

Jawabannya adalah, karena ia terinspirasi. Salah satunya oleh Munira Thabit.

Siapa yang pernah mendengar tokoh masyhur itu? Salah satu Jurnalis perempuan asal Mesir yang merintis perjuangan meraih 'kesetaraan gender' pada masanya.

Munira Thabit mengawali kariernya sebagai pengacara di Mesir dan menjadi perempuan pertama di ranah tersebut. Namun, karena pada masanya banyak halangan terhadap partisipasi perempuan di ranah pengadilan Mesir, ia berpindah haluan ke Jurnalisme.

Munira Thabit selalu mengutarakan bahwa perempuan berhak untuk memperoleh kesetaraan di ruang kerja, pendidikan, bahkan lingkup keluarga. Ia menerbitkan surat kabar mingguan bernama al-Amal pada tahun 1926 dengan slogan "Surat Kabar yang Melindungi Hak Politik Perempuan". Meskipun ia mendapat perlawanan dari para tokoh agama dan aparat pemerintah, Munira Thabit tidak berhenti dan terus menulis beragam artikel mengenai hak-hak perempuan.

Di tingkat internasional, Munira Thabit telah dipandang sebagai Jurnalis terbaik Mesir pada masanya. Dia menjadi perwakilan Mesir di konferensi jurnalisme internasional di Jerman, partisipan di Egyptian Feminist Union (EFU), dan turut mendirikan Perserikatan Jurnalis Mesir.

Memoarnya yang berjudul A Revolution in the Ivory Tower: My Memories of Twenty Years of Struggle for Women's Political Rights berisi komentar-komentar politik yang telah ia tulis di sepanjang kariernya.

Lalu, apa yang membuatnya begitu terinspirasi oleh Munira Thabit?

Karena di tengah-tengah maraknya patriarki saat itu, Munira mampu bertahan hidup. Bertahan memperjuangkan opini dan perasaan sosial-nya. Meski secara sadar, dia tahu jika nyawanya dipertaruhkan.

Saat itu, melawan patriarki sama saja dengan bunuh diri.

Berbeda dengan Mesir, memang saat ini, Turkiye sudah resmi merdeka dan menjadi Republik. Kasus-kasus serupa memang terkadang masih terjadi di berbagai wilayah. Meski semakin bertambahnya tahun, cara-cara pelenyapan dan pembunuhan sudah tak lagi terdengar, setidaknya intimidasi dan kriminalisasi menjadi kekhawatiran tertinggi bagi kuli tinta di Turkiye.

ANNA KEYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang