Bagian 22 (Yirmi iki)

118 40 10
                                    

Every act of creation is first an act of destruction— Setiap tindakan penciptaan, pertama-tama adalah tindakan kehancuran.” –Pablo Picasso
_________

Sudah 3 hari sejak kabar meninggalnya Kakek tersebar. Banyak sekali peziarah dan tamu yang kenal maupun yang tidak ia kenali datang, mengucap bela sungkawa dan memberi bunga-bunga duka. Bahkan teman-teman kampusnya pun datang dengan berbagai pemberian dan juga doa-doa. Banyak dari tamu-tamu itu meminta bertemu Anna, tapi tidak ada yang mau ia temui. Ya, Anna sama sekali tidak mau keluar dari kamar. Makan pun tidak tersentuh.

Dia terlalu malas ber-drama. Biarkan saja Wildan dan Vaya mewakilinya.

Namun pada akhirnya, Anna pun muncul, setelah mengurung diri berhari-hari. Kali ini dia diharuskan untuk mengurus sesuatu.

Kini ruangan minimalis itu lengang. Pintu masuk yang sejak tadi dibiarkan terbuka seakan mengucapkan selamat datang pada udara-udara yang masuk, menggerakkan ujung tangkai bunga di atas meja.

Di hadapannya, seorang pria telah datang dari dinas pembangunan. Sejak beberapa menit lalu menjelaskan padanya banyak hal, termasuk penyerahan dokumen resmi dari mendiang Kakeknya tentang hak milik All Book selanjutnya.

"Bagaimana Nona? Apakah Anda mau menandatanganinya?"

Anna terdiam. Jika dilihat sekarang, wajahnya begitu pucat. Kelopak matanya gelap dan sembab. Entah sudah berapa kali dia menangis. Tidak ada yang bisa menghitungnya.

"Mendiang Kakek Anda menyerahkan seluruh aset All Book untuk jaminan hidup Anda di masa depan. Jika Nona setuju, kami akan segera mengurus semuanya." Jelas Pria paruh baya yang entah siapa namanya itu.

Wanita yang terdiam lama di sofa itu hanya menatap kosong. Lidahnya terlalu kelu, tenggorokannya kering. Dia masih sangat malas mengeluarkan suara. Kemudian datang Vaya dari dapur membawa nampan berisi suguhan teh. Menimpali; "Anna akan menerimanya, Tuan." Saudaranya itu ikut duduk tak jauh darinya.

"Urus saja berkas resminya. Bukannya di sana tertulis tetap akan memberikannya meski Anna menolak?"

"Benar. Ini sudah hak paten. Tapi kami sebagai pihak dinas perlu tanda tangan Nona Anna."

Vaya mengangguk. "Adik bungsu kami ini, memang pantas mendapatkannya atas perjuangannya mengelola komunitas. Kami sekeluarga juga sudah setuju. Silakan selesaikan."

"Baik, Nona."

Mengangkat pena setelah berkali-kali diberi instruksi, Anna menatap lembaran-lembaran surat wasiat itu.

Seolah jemarinya mati rasa. Lingkaran matanya kembali gelap. Semua ini tidak sebanding dengan rasa kehilangan yang menggerogoti semua kenangannya bersama sosok kakek. Ingin rasanya Anna tertawa untuk ini, di depan semua orang, lalu bertanya pada Kakek di alam sana 'apakah disforia bisa berubah menjadi euforia hanya karena Kakek meninggalkan seluruh uang dan hartanya?

Lagi lagi, apakah uang bisa mengganti segalanya?'

Bahkan, jika Tuhan membayarnya dengan seisi dunia sekalipun, Kehilangan akan tetap menjadi kehilangan. Sakit yang harus dia miliki seumur hidup.

Usai prosesi itu, Anna berdiri meninggalkan ruang tamu itu, namun tangannya ditahan oleh Kakak perempuannya.  "Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?"

ANNA KEYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang