Bagian 33 (Otuz üç)

154 43 5
                                    

"Seni adalah cara individualisme paling intens yang pernah dikenal dunia." - Oscar Wilde
_______

Setelah sempat belajar memanah, malamnya Anna kembali duduk di depan perapian. Ditemani banyak buku-buku yang tadi tidak sengaja ia temukan di ruang keluarga. Rupanya keluarga mereka memiliki banyak koleksi buku bacaan keren dan menarik.

Malam semakin larut, suara jangkrik dan air terjun di belakang sana terdengar syahdu. Namun buku berjudul 'Hutan dan misterinya' yang sedang ia baca sekarang terlalu menarik untuk dilewatkan. Sedangkan Ray hanya diam di sampingnya, bersandar pada kasur. Matanya terpejam. Seperti biasa, Anna tahu pria ini belum tidur.

Kehangatan kasur di kamar itu benar-benar terlewatkan. Mereka bahkan tidak menganggapnya ada bahkan melirik saja tidak. Lucu sekali, bukan? Tapi inilah nyatanya.

"Apa kau sudah tidur?" Tanya Anna basa basi, sambil memerhatikan gestur wajah Ray dari samping, seakan-akan mencari kekurangan di sana. Tapi tidak ada.

"Sudah." Jawabnya singkat tanpa membuka mata. Anna terkekeh, dia belum tidur rupanya.

Matanya kembali pada lembaran buku, menghela napas panjang. Setiap ia mulai sadar dan berpikir jernih, sejatinya dia sendiri belum sepenuhnya percaya dengan apa yang terjadi dan apa yang ia lakukan di tempat ini. Beberapa bulan lalu dia lari dari segalanya. Lari dari Turkiye dan semua hal yang menyangkut dirinya di sana. Tapi sekarang? Kenapa jadi seperti ini? Apa yang harus dia lakukan setelah ini? Haruskah Anna menerima ajakan pulang? Jika dia pulang, apakah semua akan membaik atau malah sebaliknya?

Saat mencoba tidak memikirkan itu, Anna kembali pada lembaran bacaannya, tiba-tiba sudut matanya menangkap sebuah foto yang muncul di tengah-tengah tumpukan buku. Dia menariknya keluar dan mendapati sebuah foto wanita cantik kisaran usia 20 tahun akhir. Ini bukan Nyonya Ali. Tapi jika dilihat sekilas, sangat mirip dengan Ray.

Apa ini..  mendiang ibu kandungnya?

Anna menoleh. Tangannya ragu-ragu bergerak, hendak menyentuh bahu Ray agar ia membuka mata, tapi akhirnya ia urungkan. Matanya berkaca-kaca menyadari bahwa akhir-akhir ini dia lupa. Dia lupa jika Anne-nya adalah pembunuh ibu pria ini. Ya Tuhan.. Anna bahkan kembali bodoh karena menikmati semua kebersamaan mereka.

Rasanya jantungnya kembali sakit. Memori kehancurannya muncul kembali dan berputar-putar di kepalanya. Mereka harus segera pergi dari sini. Untuk sebuah penyembuhan saja Anna tidak berhak mendapatkannya.

"Maafkan aku.." Tak tercegah suara itu mengalun dalam keheningan mereka. Dia menunduk sambil meremas ujung foto itu kuat. "Maafkan aku Ray.. Maaf.."

Ray membuka mata. Namun tatapannya masih menuju langit-langit kamar.

"Kau dan keluargamu tidak perlu melakukan ini. Kau tidak perlu bersusah payah menghiburku dan memaksa dirimu menemaniku hingga sejauh ini." Ungkapnya pelan dengan suara yang nyaris menangis.

"Sekarang, dengan hati terdalam, aku mohon padamu untuk segera pergi.. Sepertinya aku tidak bisa bekerja sama denganmu." Pria itu belum membuka suara. Hening sesaat. Suara perapian terdengar mengisi keheningan di antara mereka.

"Maaf.."

"Apa yang harus kulakukan untuk menyakinkanmu bahwa aku baik-baik saja?" Jawab Ray dengan suara masih terdengar tenang. "Dan berhentilah menangis.. Tangisanmu menggangguku."

ANNA KEYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang